Minggu, 29 Maret 2015

Dunia Orang-Orang Mati (karya Saini KM) - Studi Teater Unisba


Judul Drama
:
Dunia Orang-Orang Mati
Penulis Asli Naskah
:
Saini KM
Waktu Pentas
:
Jumat, 20 Maret 2015
Tempat Pentas
:
Gd. Hj. Kartini Kridoharsodjo
Kelompok Penggarap
:
Studi Teater Unisba (Stuba)



Belakangan ini beberapa kelompok teater kampus seperti sedang berkomplot untuk meramaikan kancah teater di Bandung dan sekitarnya. Salah satunya, pementasan Dunia Orang-Orang Mati karya Saini KM oleh Stuba. Di aula Hj. Kartini Kridhoharsojo yang malam itu dirundung hujan drama tiga babak tentang lika-liku hidup Darma, seorang veteran ’45, berpuluh tahun setelah masanya di medan perang dipentaskan. Pada babak pertama Darma bekerja dalam bidang keuangan pada sebuah bank. Babak kedua juga sama. Hanya saja tempatnya bekerja adalah sebuah perusahaan kontraktor. Sedangkan pada babak ketiga dia bekerja sebagai penjaga kuburan Belanda. Dalam ketiganya dia berhadapan dengan kawan lamanya di Batalyon Tutul: Juarsa adalah sang direktur bank, Suryani –yang dalam naskah aslinya bernama Suryana—adalah direktur perusahaan kontraktor, dan Lasmini dan Marina –yang dalam naskah aslinya bernama Taudin dan Suwaya— yang ingin mengajaknya bergabung dalam perusahaan mereka saat dia menjadi penjaga kuburan. Sayang sekali kedalaman makna dalam naskah aslinya tidak terejawantahkan dengan baik pada pentas Jumat lalu, 20 Maret 2015.

Seorang penonton, saat sesi tanya jawab, menyatakan bahwa pentas itu giyung. Penyebabnya adalah banjir bandang penjahat panggung sepanjang pentas. Ada 15 tokoh dalam naskah aslinya. Sedangkan, pada pentas tak kurang dari 27 tokoh keluar masuk panggung. Ketika suatu naskah dipentaskan, perubahan di sana-sini adalah hal yang wajar. Masalahnya, walaupun tingkah kebanyakan tokoh tambahan itu menimbulkan tawa, laju adegan jadi berantakan gara-garanya.

Yang paling fatal adalah pada babak ketiga. Itulah babak pamungkas. Di situ ironi hidup Darma ada pada titik tertinggi. Dia bekerja sebagai penjaga kuburan Belanda, bangsa yang dulu dia lawan. Di situ mantan istrinya datang sebagai lonte seorang Belanda. Dia menyerah. Lalu, pada akhirnya marah. Tapi, perasaan itu tak terpancar pada penonton. Penjahat-penjahat panggunglah yang menghalanginya: istri Parto yang sangat manja , dua pelacur yang mendadak datang mendadak pergi, dua orang yang pacaran (laki-laki dan bencong), dan –ini yang paling mengherankan— pocong. Omongan mereka sama sekali tak ada hubungannya dengan cerita. Bahkan, sungguh sayang sekali Parto, tokoh yang memang ada di naskah, kelewat centil ingin berimprovisasi dengan banyolan kekinian. Untuk itu, saya ingin mengutip apa yang berkali-kali dikatakannya,”Di situ saya terkadang merasa sedih.”

Babak kedua tak separah itu, walaupun tak bisa dibilang berhasil juga. Di sini kekacauan yang dibikin si Bencong bahkan lebih gila daripada babak ketiga. Dia minta cium Darma sebagai bayaran supaya dia pergi dari panggung. Padahal, saat itu Darma sedang gundah karena bosnya merencanakan pelacuran terselubung untuk melancarkan bisnisnya. Rusaklah suasana gundah itu. Selain itu, Tito dan Tati yang tampak seperti bocah idiot keterlaluan, membuat panggung jadi seperti sirkus kedunguan. Padahal, penambahan dua tokoh itu berpotensi menimbulkan ironi bagi sesumbar Suryani pada Yopi tentang kedermawanan perusahaannya yang mendanai pendirian Taman Kanak-Kanak. Puncak babak kedua pun seperti sumbu dinamit yang keburu dipadamkan air. Ketakutan Suryani, Haris, dan Maya akan murka Darma sungguh tak wajar. Mereka lari tunggang langgang ke sana ke mari, sedangkan Darma hanya mengobrak-abrik sekelilingnya sambil berjalan pelan. Bahkan, mereka sempat berlari mendekati Darma.

Yang agak bisa dimaafkan adalah penjahat panggung di babak pertama, walaupun tetap saja kemunculan mereka ke panggung tanpa alasan yang masuk akal. Mula-mula muncul seorang ibu hamil tua dan suaminya yang memakai setelan ala tukang ojeg zaman sekarang, lalu orang yang mengaku-aku sebagai Teddy, anak Ruslan yang kecelakaan mobil, ke dalam kantor Darma. Mereka bisa dimaafkan karena muncul di awal-awal, sebelum masalah mulai panas. Mereka menambal peran Iyang, yang muncul pertama-tama, untuk menarik fokus penonton pada panggung.

Memang, kemarin babak pertama adalah babak yang paling berhasil. Aktor yang memerankan Ruslan, Darma, Maya, dan terutama Juarsa bermain prima. Keculasan Juarsa mampu dipancarkan oleh aktornya dengan senyum-senyum licik dan gerak tangannya. Bahkan, pada saat lidahnya keseleo dia mampu berimprovisasi, sehingga kesalahan itu tidak tampak seperti aktor lupa dialog, melainkan orang yang keseleo lidah saat bicara sehari-hari. Puncak keculasannya pada adegan terakhir babak pertama diperkuat oleh tata lampu remang-remang yang menyorot ala adegan ruang interogasi. Murka Darma yang menandai puncak ketegangan babak pertama pun diejawantahkan dengan baik oleh aktor-aktornya diiringi dentuman piano yang bergemuruh.

Katanya, salah satu kepuasan aktor atau tim pentas drama adalah ketika emosi penonton tergugah oleh adegan-adegannya. Ketergugahan itu bisa berupa gelak tawa pada adegan lucu dan tepuk tangan meriah di akhir pentas. Memang, gelak tawa bertebaran sepanjang pentas kemarin. Hanya saja kebanyakan tawa itu dipantik oleh kejahatan-kejahatan panggung aktor-aktornya. Padahal, beberapa adegan bisa dibuat jadi lawakan yang wajar, seperti saat Haris bicara tentang sekretaris all-in-one untuk Van Rees. Selain itu, beberapa kali kemunculan lawakan tentang rasa teh yang terasa seperti iklan produk pun tampak wajar. Kalau mengingat-ingat pentas Dunia Orang-Orang Mati oleh Stuba kemarin, saya jadi bertanya-tanya: Manakah yang lebih penting dalam mementaskan sebuah drama, membuat penonton tertawa terbahak-bahak dengan lawakan yang disempalkan di sana-sini atau menyajikan adegan-adegan sesuai dengan porsinya, tegang maupun santai, lucu maupun tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar