Judul Buku
|
:
|
Sang Guru
|
Penulis
|
:
|
Gerson Poyk
|
Penerbit
|
:
|
Grasindo
|
Tahun Terbit
|
:
|
2003 (Terbit pertama: 1993)
|
Kalau ditakar menggunakan standar alur tradisional, Sang
Guru adalah novel yang lemah. Kalau boleh dibagi-bagi, ada tiga bagian di
dalamnya. Pertama, masa-masa awal Ben sebagai seorang guru pindah ke Ternate.
Kedua, perang antara mobrig –bahasa kekiniannya: brimob—dengan tentara
gara-gara ketidakdisiplinan anggotanya yang mantan gerombolan sehingga
lingkungan Ben jadi tidak kondusif. Terakhir, masa-masa kelompok Permesta
menduduki wilayah tempat tinggal Ben yang beriringan dengan kecelakaan Said,
adik Irma, pacar Frits, teman Ben. Perpindahan antarbagian itu terjadi dengan
kelewat gampang. Bagian pertama dan bagian kedua dijembatani oleh baku tembak
antara beberapa anggota mobrig dan tentara di sebuah bioskop hanya gara-gara
pacar salah seorang mereka digoda oleh yang lainnya.Lalu, keadaan memanas, dan
meluluhlantakan sekitar. Yang agak halus adalah perpindahan dari bagian kedua ke
bagian ketiga. Perang antar kesatuan milliter itu diakhiri dengan perundingan
antara para pembesarnya. Ada masa pemulihan sebentar bagi tokoh-tokoh. Lalu,
pada suatu pelesir di pantai Said begitu saja mengalami celaka yang parah
sampai-sampai harus dibawa ke rumah sakit di kota. Terakhir, setelah Ben
dikeluarkan dari kelompok Permesta, Frits menyarankannya untuk jadi petani gula
di perkebunan orang tua Sofie, perempuan yang kemudian jadi istrinya.
Peristiwa-peristiwa itu disajikan seperti,”Masalah satu sudah selesai.
Selanjutnya, masalah yang lain,” tanpa ada benang merah yang lebih dari sekedar
urutan peristiwa. Pada menjelang akhir cerita tidak terasa klimaks. Meskipun
begitu, bagi yang tidak keberatan dengan ketiadaan greget alur, pengaluran
macam begini bisa dirasakan sebagai sesuatu yang nyata. Hidup kita tak selalu
bergerak menuju satu titik terharu.
Ben adalah tokoh utama. Wajar kalau dialah yang digali
paling dalam di antara tokoh yang ada dalam Sang Guru. Kita bisa mengenalnya
lebih jauh lewat beragam reaksinya terhadap banyak masalah. Saat pertama tiba
di Ternate, dia merenungkan profesi guru yang dielu-elukan orang, sedangkan dia
jadi guru sebagai upaya untuk tetap dapat makan. Dia merasa malu saat akhirnya
harus kasbon pada Pak Ismail, penjaga sekolah, sedangkan pada saat dia pertama
tiba di Ternate, dia gigih menolak tawaran Pak Ismail yang saat itu menyambi
jadi kuli angkut. Dia jatuh cinta pada Sofie sejak mereka bertemu di kapal
menuju Ternate, tapi lama kemudian baru dia menyatakan cintanya. Dia minder
saat orang tua Sofie mengajukan beberapa syarat nikah, sementara dia sendiri
tak punya uang. Dia jadi sangat waspada terhadap kabar-kabar saat perang antara
mobrig dan tentara. Dia terlibat dengan Permesta demi tetap mendapat makan. Dia
gelisah saat memiliki sebotol mutiara yang diberikan oleh orang tak dikenal
saat huru-hara. Sebaliknya, tokoh-tokoh lain kebanyakan tak banyak digali.
Frits sifatnya seperti Anwar dalam Atheis-nya Achdiat, walaupun tanpa sifat
snob. Ibu sejak awal sampai akhir sama saja sifatnya. Paling-paling Irma,
Sofie, dan Pak Ismail yang agak digali: latar belakang Irma pacaran dengan
Frits; pandangan Sofie tentang hubungan laki-perempuan dan tentang mutiara Ben;
Pak Ismail jadi galak kalau sedang tertekan.
Sang Guru adalah kisah yang mengalir begitu saja tanpa
gelombang yang membuncah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar