Judul Buku
|
:
|
Lagu Buat Meimei
|
Penulis
|
:
|
Sayudi
|
Penerbit
|
:
|
Pustaka Jaya
|
Tahun Terbit
|
:
|
1979
|
Cinta antarorang yang beda golongan adalah hal yang empuk
untuk digodok jadi masalah utama suatu cerita. Dalam Lagu Buat Meimei, dua
orang yang saling mencintai adalah Dadang dan Meimei. Perbedaan golongan itu
diungkapkan lewat mulut ibu Meimei. Dadang Sunda, sedangkan Meimei Tionghoa.
Ditambah lagi, Dadang bukan berasal dari keluarga yang berada. Dia pun belum
mapan secara ekonomi, masih kuliah, sedangkan ibu Meimei mengharapkan anaknya
berhubungan dengan lelaki mapan, bahkan menyarankan agar Meimei berhubungan
saja dengan seorang lelaki lain. Meskipun cinta berpotensi untuk jadi masalah
yang gawat, dalam kisah yang singkat ini penyelesaiannya gampang dan tidak
begitu dramatis. Hanya ibu Meimei yang keberatan dengan hubungan anaknya,
sedangkan bapak dan kakak Meimei santai saja menanggapinya. Setelah Beng, kakak
Meimei, urun pendapat, ibunya luluh juga. Berhadapan dengan keberatan ibunya,
Meimei pun sempat merasa sedih. Tapi, kesedihan itu tak membuatnya sampai
bagaimana, bahkan dia masih bisa menikmati pertemuan dengan Dadang. Justru
Dadanglah orang yang digambarkan terus-menerus khawatir akan keberatan itu.
Tapi, ya, kekhawatiran itu hanya sebatas khawatir. Dalam Lagu Buat Meimei, masalah
cinta ini mentok pada rasa khawatir belaka.
Terlepas dari penyelesaian yang gampang itu, sebenarnya
banyak hal-hal sepele yang asyik dari Lagu Buat Meimei. Pertama,
penyandingan-penyandingan beberapa hal yang tampaknya tidak berkaitan justru
malah membuat hal-hal tersebut saling menguatkan karena digambarkan pada
peristiwa yang tepat. Ada adegan Dadang naik sepeda sambil melamunkan Meimei.
Dia melamunkan hal-hal yang menyenangkan tentang Meimei. Tapi, itu berubah
menjadi lamunan yang bernada khawatir saat dia menyadari pengguna jalan lain
memakinya karena membahayakan gara-gara melamun. Keadaan jalan seakan
menggambarkan lamunan Dadang. Ada juga adegan Dadang dan Meimei kencan di taman
dekat gereja jalan Braga. Di gereja itu ada pernikahan yang digambarkan
demikian indah. Penggambaran itu disusul oleh kemesraan Dadang dan Meimei, lalu
berubah menjadi kekhawatiran Dadang tentang penerimaan orang tua Meimei
terhadapnya. Seakan-akan mempelai dalam pernikahan itu adalah Dadang dan
Meimei, padahal bukan. Kedua, adegan apel Dadang ke rumah Meimei kocak-kocak
manis. Awalnya, dia berusaha mencairkan suasana dengan mengobrol tentang tahun
baru Imlek dan kode buntut dengan bapak dan ibu Meimei. Tapi, upaya yang tampak
canggung dan sok akrab itu berhenti ketika ibu Meimei bertanya tentang
keseriusan Dadang dalam hubungannya dengan Meimei. Untuk tidak mengatakan
adegan ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi, sehingga terkesan seperti
curhat, dan supaya terkesan ilmiah saya sebut adegan ini adalah adegan yang
besar kemungkinan untuk jadi objek identifikasi diri pembaca. Ketiga, –dan ini juga karena faktor identifikasi
diri— kisah ini berlatar di Bandung! Seperti yang telah disebutkan, salah satu
adegan berlangsung di sebuah taman di gereja dekat jalan Braga. Gereja itu
pastilah gereja tempat perpustakaan Bale Pustaka berada –apa namanya, ya? Saya
lupa. Tapi, taman yang dimaksud di situ sekarang tak ada lagi. Meimei dan
Dadang kencan di jalan Braga. Bioskop Majestic disebut-sebut. Daerah tempat
berada rumah duka yang disinggahi Dadang dan Meimei pun tampaknya adalah
Gardujati. Tapi, di antara semua itu, yang paling membuat saya bingung adalah
penyebutan bahwa rumah Meimei tak jauh dari Gang Saritem. Hah?
Meskipun konflik utama kisah yang sangat singkat ini kurang
greget, hal-hal sepele yang menarik di dalamnya asyik juga untuk dinikmati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar