Judul Buku
|
:
|
Ombak Parangtritis
|
Penulis
|
:
|
Nasjah Djamin
|
Penerbit
|
:
|
Balai Pustaka
|
Tahun Terbit
|
:
|
1983
|
Seperti air laut, Ombak Parangtritis menggambarkan
pasang-surut harapan seorang remaja bernama Nita.
Suatu peristiwa yang terjadi di luar kuasanya menjadi suatu
titik balik dalam hidup Nita. Harapannya untuk menamatkan SMA pupus, apalagi untuk
memperdalam seni lukis di ASRI Yogyakarta. Dia menarik diri dari pergaulan
padahal dia seorang yang supel, bahkan dia sengaja tidak datang ke acara ulang
tahun karibnya, Ningrum. Keadaan ekonomi keluarganya kembang-kempis untuk
menopang lima bersaudara dan sepasang suami istri setelah bapaknya pensiun dari
jabatannya sebagai pegawai negeri. Semua itu dilakukannya sebagai upaya untuk
memahami kesulitan orang tuanya, walaupun kentara rasa sesak dalam perenungannya.
Sementara ibu dan dua adiknya tetap di Yogya untuk mengelola
rumahnya yang kini dijadikan kosan, dia turut dengan bapaknya untuk membuka
usaha di Parangtritis. Awalnya, kakaknya di perantauan menyesalkan keadaan ini.
Namun, Nita perlahan-lahan membangun kembali semangatnya dari beragam
pengalaman selama menjadi pegawai di warung-hotel milik bapaknya. Kemampuan
sosialisasinya melancarkan pekerjaannya sebagai pemandu bagi turis. Bahkan,
keakrabannya dengan mereka mengantarkannya pada obrolan tentang perenungan
hidup. Sementara itu, di sela-sela kesibukannya dia terus melipur diri dengan
melukis. Puncak upayanya untuk membangun kembali harapan dijumpainya saat dia
berkenalan dengan Minarti, seorang anak orang kaya yang punya masa lalu muram
dan ingin menata kembali hidupnya dengan melukis. Setelah itu, seperti lagu
Beatles, it’s getting better all the time.
Selain perjuangan Nita, sepanjang cerita kita akan melihat
gambaran keadaan pantai Parangtritis pada tahun ‘80an. Bule hippies berbondong
berlabuh di sana dan menganggap pantai di wilayah itu lebih bagus dari pantai
Bali. Orang-orang ziarah ke makam yang ada di wilayah itu. Keadaan itu
disandingkan dengan warung-hotel yang berjejal di sepanjang pesisir pantai. Anak
muda Yogya dan sekitarnya datang ke sana untuk bersenang-senang, bahkan
mushroom pun sempat disebut-sebut. Saya pribadi, setelah membaca gambaran
keadaan alam dan sosial Parangtritis dan sekitarnya, jadi merasa kurang
menjelajah pantai itu waktu kemarin-kemarin main ke sana.
Detil referensial yang bertebaran sepanjang cerita pun patut
diacungi jempol. Nita dijuluki Roro Mendut, bahkan kabar ini tidak hanya
berkumandang di Parangtritis, tapi juga menyebar ke Yogyakarta. Ini juga yang
membuat Ningrum dan Bleki, pemuda yang ngeceng Nita, mengetahui keadaan tokoh
utama kita. Tidak tanggung-tanggung. Nasjah Djamin menyediakan bagian
tersendiri untuk menceritakan ulang kisah Roro Mendut. Selain itu, detil yang
paling banyak diumbar adalah tentang seni. Dari mulai cara membatik sampai cara
membikin kanvas secara mandiri pun secara rinci didedahkan. Kisah-kisah perupa
Indonesia pun bertebaran, khususnya dalam obrolan Nita dan Minarti. Dari mulai
Soedjojono sampai Affandi. Nasjah Djamin memang orang-dalam dunia seni rupa
Indonesia.
Ombak Parangtritis mendeburkan kisah seorang remaja yang
berupaya menumbuhkan kembali harapannya setelah dihantam peristiwa yang terjadi
di luar kuasanya, di pantai selatan Yogyakarta tahun ‘80an dengan hembusan
detil sepoi-sepoi tentang seni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar