Rabu, 18 Mei 2016

Ding Dong - Yudhistira ANM Massardi




Judul Buku
:
Ding Dong
Penulis
:
Yudhistira ANM Massardi
Penerbit
:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
:
1993

Ding Dong berisi lika-liku percintaan kekanak-kanakan Palgunadi dengan empat perempuan di sela-sela repotnya proyek pentas tari warga desa Teges Kanginan (dipimpin Sardono W. Kusumo) di Iran.

Empat perempuan itu adalah Putri (pacar Palgunadi di Jakarta), Etna (seorang penari, warga desa Teges Kanginan), Gusti Bogok (seorang Indo pecinta seni), dan Azhade (pemandu rombongan tari saat di Iran). Hubungan Palgunadi dengan dua perempuan lokal itu penuh lika-liku yang sengaja digambarkan dengan kekanak-kanakan. Kesalahpahaman sedikit saja bisa memicu reaksi yang amat dahsyat. Saat Palgunadi baru sekadar akrab dan baru sekadar ngelanjor (ngelamun jorok) tentang Gusti Bogok, kecemburuan Etna ampun-ampunan deh. Sering juga sikap tidak mau mengerti merunyamkan keadaan sekonyol-konyolnya. Putri tak mau Palgunadi ikut rombongan Sardono karena takut kangen. Palgunadi ngambek karena Putri tak ada di rumah saat dia hendak pamit sampai-sampai menyangka yang tidak-tidak dan berpikir untuk putus, padahal Putri yang sedang makan bakso tidak dikabari tentang kedatangannya. Di sisi lain, hubungan Palgunadi dengan dua bule itu justru lancar jaya. Dari Gusti Bogok dapat sun, dari Azhade lebih dari itu. Meskipun begitu, dia hanya menganggap hubungan dengan perempuan bule itu sebagai sesuatu yang kasual. Pada dua perempuan lokal itu dia mabuk kepayang, bahkan pada beberapa adegan mereka tampak malu-malu kucing dan Palgunadi takut dua perempuan itu ngambek padanya, walaupun seringkali situasi membangkitkan naluri hidung belangnya. Hubungan Palgunadi dengan empat perempuan itu menyiratkan dua cara pandang tentang hubungan laki-perempuan: Yang lokal digambarkan kekanak-kanakan, cengeng, namun sungguh-sungguh sambil malu-malu untuk bercumbu, sementara yang bule digambarkan sangat santai walaupun laki-perempuan itu telah berhubungan badan.

Iming-iming pergi ke luar negeri adalah yang pertama-tama memincut Palgunadi untuk terlibat dengan proyek tari warga desa Teges Kanginan. Pada bosnya di kantor majalah dia menjanjikan catatan perjalanan mereka. Nyatanya, di rombongan itu, sejak persiapan sampai kepulangan, dia jadi pembantu umum. Repotlah. Dalam adegan-adegan dia mengurusi berkas-berkas resmi, tumpah banyak ejekan terhadap birokrat, misalnya mental ABS dan konyolnya prosedur surat “bebas PKI”. Dalam adegan-adegan dia mengurusi keperluan rombongan warga Teges Kanginan, meledak olok-olok tentang gegar budaya alias orang kampungan dan kecenderungan nginggris orang Bali. Naasnya, setelah semua kerepotan itu, pendapatnya tentang luar negeri adalah “biasa aja”. Subplot proyek pentas tari desa Teges Kanginan menyiratkan ejekan luas tentang gegar budaya, dari sifat kampungan warga desa itu sampai khayalan berlebihan Palgunadi (orang Indonesia) tentang luar negeri.

Sepanjang cerita Yudhistira sering sekali sengaja melanturkan tulisannya. Yang lanturannya agak dekat misalnya dia mengejek seniman dan sebangsanya saat menceritakan Sardono dan orang-orang di TIM. Yang keterlaluan jauh misalnya dia membahas-bahas pemukulan aparat atas mahasiswa saat dia menceritakan betapa kejamnya cewek Palgunadi. Kacrutnya, lanturan itu ditata dari kata-kata yang blak-blakan. Sementara dua subplot itu mengandung sindiran-sindiran, lanturan-lanturan sepanjang cerita justru meriah oleh olok-olok yang vulgar tentang polsosbud.

Ding Dong adalah badut yang melantur ala dewa mabuk. Sementara kita dibuai sampai terpingkal oleh topeng kisah cinta yang sengaja lebay nan kekanakan dan lika-liku proyek seni, lanturan lincahnya menyikut dan mencubit beragam soal, dari soal gegar budaya sampai kebiasaan buruk para pembesar kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar