Rabu, 22 Juni 2016

Mencoba Tidak Menyerah - Yudhistira ANM Massardi


Judul Buku
:
Mencoba Tidak Menyerah
Penulis
:
Yudhistira ANM Massardi
Penerbit
:
Bentang Budaya
Tahun Terbit
:
1996



Tokoh Aku bersama ibu dan saudara-saudaranya Mencoba Tidak Menyerah setelah bapaknya ditangkap pada tahun ‘65an karena merupakan seorang simpatisan PKI.

‘Aku’, seorang anak keenam yang masih SD, pada awalnya tidak dekat dengan bapaknya. Malahan, dia menganggap bapaknya sebagai sosok yang sangat keras. Dia dimarahi saat meminta uang dan disuruh bekerja, membantu bapaknya di bengkel sepeda atau meloper Harian Rakyat dan Warta Bhakti (dua koran yang berafiliasi dengan PKI), kalau ingin dapat uang. Dia sendiri tidak suka bekerja, khususnya di bengkel sepeda bapaknya, bahkan dia berusaha menghindar tiap kali ada tanda dia akan disuruh kerja. Tapi, semua itu perlahan berubah setelah tak lama sehabis peristiwa ’65, bapaknya ditangkap. Kepala keluarga tidak ada berarti keluarga itu, termasuk ‘Aku’, harus berusaha sintas lebih keras, apalagi ditambah penilaian orang-orang terhadap mereka setelah penangkapan bapaknya. Karena didorong oleh kebutuhan untuk makan, ‘Aku’ akhirnya berusaha bekerja ini-itu: Menimba air untuk sebuah keluarga Tionghoa, meloper koran, bahkan membuka kembali bengkel bapaknya. Pada masa-masa ini setiap kesempatan bertemu dengan bapaknya –yang dipindahkan berkali-kali dari satu tahanan ke tahanan lain— adalah suatu kebahagiaan tersendiri baginya. Afeksinya terhadap bapaknya meningkat seiring waktu sampai-sampai dia menganggap bapaknya adalah Old Shatterhand, sementara dia sendiri adalah Winnetou cengeng. Saat bapaknya dibebaskan, dialah yang akhirnya dekat dengannya. Pada bapaknya dia membanggakan keahliannya menambal ban. Peristiwa-peristiwa yang dialaminya mengubah pandangan ‘Aku’ tentang bapaknya dan kerja.
Peristiwa ’65 adalah titik balik bagi ‘Aku’. Dalam novel ini disebutkan beberapa hal tentang peristiwa itu didengar oleh ‘Aku’. PKI membunuh enam jenderal dengan amat keji. Beberapa saat sebelum itu terjadi, dia menyaksikan gontokan ormas-ormas dalam pawai pada perayaan Hari Kemerdekaan. Setelah peristiwa itu, orang-orang mengatainya ‘anak PKI’. Sementara itu, dia juga mendengar rumah-rumah orang PKI dibakari, mereka dibawa ke Kodim lalu dimusnahkan, dan mereka dipenggal dan dibuang ke sungai. Semua itu membuat dia sangat membenci sebutan itu dan jijik dengan PKI sampai-sampai dia mengklarifikasinya pada ibunya saking tertekan. Ibunya bilang dia bukan anak PKI. Itu membuatnya lega sementara. Tapi, tak lama kemudian rumahnya dibakar dan bapaknya ditangkap dengan tuduhan ‘simpatisan PKI’. Isyarat-isyarat yang sebelumnya disebutkan menunjukkan bapaknya sedikit-banyak terkait PKI: koran yang diageninya dan sembako-sembako yang diurusinya dalam naungan koperasi. Ucapan ibunya sekadar pelipur lara agar dia tidak terus-terusan tegang. Ketakutan ‘Aku’ atas nasib buruk yang menimpa orang-orang PKI dan kabar kekejaman PKI terhadap enam jenderal menyuntikkan stigma ‘PKI berasosiasi dengan sesuatu yang buruk’ dalam kepalanya. Stigma itu berbenturan dengan kenyamanan hidup yang diharapkannya. Wajar, dia, seorang anak SD yang kurang tahu tentang pergolakan politik masa itu, secara naluriah membenci stigma itu dan segala hal yang berkaitan dengannya. Novel ini menggambarkan cara kerja lingkungan mempengaruhi penilaian seseorang yang tidak tahu apa-apa terhadap sesuatu (dalam hal ini label PKI).

Mencoba Tidak Menyerah menggambarkan penyintasan seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa setelah terkena dampak suatu peristiwa politik besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar