Judul Buku
|
:
|
Mencoba Tidak Menyerah
|
Penulis
|
:
|
Yudhistira ANM Massardi
|
Penerbit
|
:
|
Bentang Budaya
|
Tahun Terbit
|
:
|
1996
|
Tokoh Aku bersama ibu dan saudara-saudaranya Mencoba Tidak
Menyerah setelah bapaknya ditangkap pada tahun ‘65an karena merupakan seorang
simpatisan PKI.
‘Aku’, seorang anak keenam yang masih SD, pada awalnya tidak
dekat dengan bapaknya. Malahan, dia menganggap bapaknya sebagai sosok yang
sangat keras. Dia dimarahi saat meminta uang dan disuruh bekerja, membantu
bapaknya di bengkel sepeda atau meloper Harian
Rakyat dan Warta Bhakti (dua
koran yang berafiliasi dengan PKI),
kalau ingin dapat uang. Dia sendiri tidak suka bekerja, khususnya di bengkel
sepeda bapaknya, bahkan dia berusaha menghindar tiap kali ada tanda dia akan
disuruh kerja. Tapi, semua itu perlahan berubah setelah tak lama sehabis
peristiwa ’65, bapaknya ditangkap. Kepala keluarga tidak ada berarti keluarga
itu, termasuk ‘Aku’, harus berusaha sintas lebih keras, apalagi ditambah
penilaian orang-orang terhadap mereka setelah penangkapan bapaknya. Karena
didorong oleh kebutuhan untuk makan, ‘Aku’ akhirnya berusaha bekerja ini-itu:
Menimba air untuk sebuah keluarga Tionghoa, meloper koran, bahkan membuka
kembali bengkel bapaknya. Pada masa-masa ini setiap kesempatan bertemu dengan
bapaknya –yang dipindahkan berkali-kali dari satu tahanan ke tahanan lain— adalah
suatu kebahagiaan tersendiri baginya. Afeksinya terhadap bapaknya meningkat
seiring waktu sampai-sampai dia menganggap bapaknya adalah Old Shatterhand,
sementara dia sendiri adalah Winnetou cengeng. Saat bapaknya dibebaskan, dialah
yang akhirnya dekat dengannya. Pada bapaknya dia membanggakan keahliannya
menambal ban. Peristiwa-peristiwa yang dialaminya mengubah pandangan ‘Aku’
tentang bapaknya dan kerja.
Peristiwa ’65 adalah titik balik bagi ‘Aku’. Dalam novel ini
disebutkan beberapa hal tentang peristiwa itu didengar oleh ‘Aku’. PKI membunuh
enam jenderal dengan amat keji. Beberapa saat sebelum itu terjadi, dia
menyaksikan gontokan ormas-ormas dalam pawai pada perayaan Hari Kemerdekaan. Setelah
peristiwa itu, orang-orang mengatainya ‘anak PKI’. Sementara itu, dia juga mendengar
rumah-rumah orang PKI dibakari, mereka dibawa ke Kodim lalu dimusnahkan, dan
mereka dipenggal dan dibuang ke sungai. Semua itu membuat dia sangat membenci
sebutan itu dan jijik dengan PKI sampai-sampai dia mengklarifikasinya pada
ibunya saking tertekan. Ibunya bilang dia bukan anak PKI. Itu membuatnya lega
sementara. Tapi, tak lama kemudian rumahnya dibakar dan bapaknya ditangkap
dengan tuduhan ‘simpatisan PKI’. Isyarat-isyarat yang sebelumnya disebutkan
menunjukkan bapaknya sedikit-banyak terkait PKI: koran yang diageninya dan
sembako-sembako yang diurusinya dalam naungan koperasi. Ucapan ibunya sekadar pelipur
lara agar dia tidak terus-terusan tegang. Ketakutan ‘Aku’ atas nasib buruk yang
menimpa orang-orang PKI dan kabar kekejaman PKI terhadap enam jenderal
menyuntikkan stigma ‘PKI berasosiasi dengan sesuatu yang buruk’ dalam kepalanya.
Stigma itu berbenturan dengan kenyamanan hidup yang diharapkannya. Wajar, dia,
seorang anak SD yang kurang tahu tentang pergolakan politik masa itu, secara
naluriah membenci stigma itu dan segala hal yang berkaitan dengannya. Novel ini
menggambarkan cara kerja lingkungan mempengaruhi penilaian seseorang yang tidak
tahu apa-apa terhadap sesuatu (dalam hal ini label PKI).
Mencoba Tidak Menyerah menggambarkan penyintasan
seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa setelah terkena dampak suatu peristiwa
politik besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar