Rabu, 17 Agustus 2016

Tiga Puntung Rokok - Nasjah Djamin


Judul Buku
:
Tiga Puntung Rokok
Penulis
:
Nasjah Djamin
Penerbit
:
Pantja Simpati
Tahun Terbit
:
1985



Dalam Tiga Puntung Rokok seorang pensiunan PNS merantau kembali ke Jakarta untuk bergelut kembali dengan dunia kesenian yang pernah ditapakinya demi mencukupi kebutuhan keuangan keluarga dan mendapatkan kembali kepercayaan diri.

Pensiunan itu bernama Masri. Saat muda, dia adalah seorang pelukis, penulis, dan pekerja film yang menggelandang di Jakarta demi meniti karir. Tapi, dia memutuskan untuk meninggalkan dunia itu dan memilih jadi PNS di Yogyakarta karena tak tahan cara kerja dunia kesenian di sana. Saat muda, dia tak mau mengkompromikan idealismenya dengan tuntutan komersil. Hasilnya, dia mengubur mimpi karir seninya dan hidup pas-pasan, sedangkan banyak teman sepantarnya sudah menjadi orang penting di Jakarta. Karena tidak mau berkompromi dalam berkesenian, Masri akhirnya menjadi kere.

Kembalinya Masri ke Jakarta berarti dia terlibat kembali dengan seluk-beluk masa lalunya. Hasrat untuk kembali pertama-tama muncul karena sindiran anaknya bahwa dia gombal. Keputusan baru ditetapkan saat dia mendapat surat ajakan Darso untuk membantu penggarapan filmnya. Di sela keterlibatannya dalam penggarapan itu dia diminta seorang redaktur untuk menggarap buku anak proyek Inpres. Dia juga bertemu kembali dengan Marsina dan Tumi, perempuan-perempuan yang dulu pernah memadu kasih dan mengucap janji mengejar cita bersama dengannya. Dia sempat hanyut dengan pekerjaannya dan perempuan-perempuan sampai-sampai dia bersikap seromantik masa mudanya. Tapi, pergulatannya lebih lanjut dengan hal-hal itu mengingatkannya bahwa keadaan dia sekarang tidak sama dengan keadaan dia semasa muda. Pelibatan kembali dengan hal-hal dari masa lalunya membuat Masri menimbang ulang nilainya.

Pekerjaan Masri di Jakarta paralel dengan perempuan-perempuan yang dihadapinya. Demi mendapatkan dana untuk produksi film, Masri mesti menuruti cukong yang ingin disediakan perempuan. Dia juga menuruti keinginan seorang redaktur untuk menulis buku anak yang sesuai dengan karakter buku Inpres. Sebenarnya dia tidak sepaham dengan kedua hal itu. Sementara itu, Marsina, yang dulu meninggalkan Masri karena dijodohkan oleh orang tuanya, kini menjadi simpanan seorang pembesar. Tumi pun saat bertemu kembali dengan Masri masih menjadi pelacur walaupun saat itu dia menyatakan keinginannya untuk berhenti. Mira, perempuan muda yang ingin terlibat dalam dunia film, rela dijadikan sajen bagi cukong demi mendapatkan peran. Masnun, perempuan muda yang jatuh cinta pada Masri, rela menjadi perempuan simpanan demi melunasi hutang ibunya. Interaksi dengan perempuan-perempuan itu membuat Masri merenungkan juga pekerjaannya: Menjual diri –dalam kasus Masri, menanggalkan idealismenya—adalah harga yang harus dibayar untuk bisa bertahan hidup. Begitulah aturan mainnya.
sumber gambar: kardusbuku.com
Tokoh-tokoh lain adalah bandingan bagi keadaan Masri. Dalam hal kemapanan, ada dua kubu, yakni kubu Darso dan kubu Raidin. Darso dan teman-teman pelukis Masri di Ancol sudah tua tapi masih terkatung-katung meniti karir film, sedangkan Raidin sudah menjadi orang gede. Di antaranya Masri condong ke arah Darso, tapi dia ditarik ke arah Raidin oleh keinginan anaknya dan harga dirinya. Untuk mencapai posisi Raidin, dia melewati jembatan yang diejawantahkan oleh perempuan-perempuan yang ditemuinya di Jakarta. Perempuan-perempuan itu memutuskan untuk menjual dirinya demi mencapai keinginannya. Pada akhirnya, Masri menempuh jembatan itu. Sementara itu, Masnun menjadi pengejawantahan semangat muda Masri. Keterlenaan Masri saat bertemu kembali dengannya menunjukkan bahwa Masri masih memegang angan-angan masa mudanya: sukses dalam bidang yang ingin digelutinya (seni). Sementara itu, hubungan Mira dan Satiyo adalah bandingan bagi hubungan Masri, Marsina, dan Masnun. Satiyo meniduri Mira yang merupakan keponakannya, sementara Masri meniduri Masnun yang merupakan anak perempuan yang dicintainya. Sebagaimana Mira dengan Satiyo, Masri pun memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan pribadi dengan Marsina dan Masnun setelah menyadari kenyataannya. Ini adalah dasar keputusan Masri ketika memutuskan untuk menanggalkan idealismenya. Perbandingan ini disadari oleh Masri dan inilah yang banyak mendasari tindakan-tindakannya.

Dalam buku ini Nasjah Djamin menunjukkan kekuasaannya sebagai penulis atas tokoh-tokohnya. Dia banyak menggunakan kebetulan-kebetulan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa penting. Yang paling vital adalah reuni Masri dan Marsina di salah satu jalanan Jakarta ketika Masri sedang keram betis. Selain itu, pertemuan Masri dengan redaktur yang akhirnya memberinya proyek buku anak Inpres. Pertemuan itu terjadi begitu saja di tengah jalan. Kebetulan lainnya adalah kenyataan bahwa Mira ternyata keponakan Sutiyo, seorang cukong yang menidurinya. Yang juga kebetulan tapi padahannya cukup melancarkan kemunculannya adalah kenyataan bahwa Masnun adalah anak Marsina, yang saat masih kanak-kanak erat dengan Masri. Padahannya adalah namanya. Masri mengenal dengan anak itu dengan nama Nunung. Masnun pun lebih suka dipanggil Nun oleh Masri. Kekuasaan penulis atas cerita ditunjukkan lewat banyak penggunaan kebetulan sebagai sarana penggedor alur.

Tiga Puntung Rokok adalah perenungan kembali idealisme masa muda setelah seseorang mencapai usia tua dan dibentur kenyataan sehingga dia menanggalkannya. Meskipun penanggalan idealisme adalah suatu hal yang pesimistik, ironisnya, keputusan itu digambarkan penuh harapan.

Jumat, 05 Agustus 2016

Karmila - Marga T


Judul Buku
:
Karmila
Penulis
:
Marga T.
Penerbit
:
Gramedia
Tahun Terbit
:
1974



Karmila berisi tanggapan tokoh-tokohnya atas kehamilan seorang perempuan karena ditiduri seorang lelaki pada suatu pesta mabuk-mabukan.

Perempuan itu adalah Karmila. Pada bagian pertama dia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang mendendam pada lelaki yang menjahanaminya dan pada bayi yang dikandungnya. Dia tak segan-segan bersikap kasar pada dua orang itu. Dia tak ingin menyusui dan bahkan mengurus bayi itu. Dia tak mau menemui lelaki itu walaupun lelaki itu minta diampuni. Baginya, kehamilan itu merenggut hidup darinya. Dia mesti cuti kuliah. Hubungannya dengan pacarnya di luar negeri berantakan. Tapi, dia tak mampu menyingkirkan naluri keibuannya. Pada bagian kedua dia adalah seorang dokter spesialis anak yang berusaha menyingkirkan bayangan mantan pacarnya sambil berusaha mencintai suami dan anak-anaknya. Pada bagian ini dia sudah mencintai suaminya karena rasa cemburunya besar. Seiring waktu Karmila lebih lapang menghadapi nasibnya.

Lelaki itu adalah Feisal. Pada pandangan pertama atas Karmila dia sebenarnya sudah jatuh cinta. Hanya saja pengaruh zat-zat memabukkanlah yang membuatnya nekat membius perempuan itu supaya bisa ditiduri. Karena itu, begitu tahu perempuan itu hamil, dia ingin minta ampun. Berkali-kali dia ditolak perempuan itu tapi dia berkeras untuk bertanggung jawab. Dia bahkan rela diinjak-injak oleh Karmila selama kehamilannya. Namun, karena suatu kesalahpahaman, dia jengah juga berusaha membuat perempuan itu mengampuni dan mencintainya. Hampir saja dia menyerah. Sebenarnya perkosaan Feisal adalah pengejawantahan agresif ketertarikannya pada Karmila sehingga dia berupaya sekuat tenaga meminta ampun pada perempuan itu.

Edo, mantan pacar Karmila, menjadi bayang-bayang bagi pernikahannya dengan Feisal. Pada bagian pertama dia hanya hadir sebagai sosok yang dibincangkan. Dia tinggal di Australia. Pada awalnya kepada dialah Karmila kesengsem sampai-sampai perempuan itu berniat mengejarnya ke negeri seberang itu. Pada bagian kedua dia didatangkan ke hadapan. Hanya saja sudah bukan sebagai dambaan melainkan bayangan yang mengganggu. Kesan pengusik ini makin kental karena Edo bertindak sangat agresif. Dia berkeras untuk tinggal di rumah Karmila padahal sudah disuruh pergi. Dia mendatangi vila mertua Karmila tanpa undangan hanya demi mengejar perempuan yang sebenarnya menghindarinya. Pada akhirnya dia menyerah. Meskipun sempat dikesankan sebagai pengganggu, tidak mungkin tidak Edo menjadi tokoh yang simpatik.

Daud Gurong, bapak Feisal, berperan penting bagi kelangsungan hubungan anaknya dan Karmila. Pertama-tama, dia memintaampunkan Feisal pada Karmila. Dia mendorong Feisal untuk bertanggung jawab pada Karmila dengan cara menikahinya. Saat hubungan anak-mantunya memburuk, dia memberikan nasihat tentang cinta dan keluarga, yang memperbaikinya. Dia bertindak demikian karena sadar akan pengaruh hubungannya dengan istrinya kepada Feisal.
sumber gambar: bukuseni.com
Pengaruh hubungan suami-istri terhadap anak mereka menjadi persoalan lain dalam novel ini. Varian pertama adalah Daud Gurong dengan keluarganya. Dia terlalu sibuk bekerja sehingga istrinya tidak bahagia dan menjadi tante girang bahkan meninggalkannya. Dia menyimpulkan inilah pengaruh utama bagi segala kekacauan Feisal. Dia merasa bersalah atas tindakannya. Inilah juga yang dijadikan bahan nasihatnya pada anaknya saat hampir menyerah menghadapi Karmila. Varian kedua adalah Karmila dengan Feisal dan anak-anaknya. Pada awalnya dia menolak mengurus anaknya karena dia tak menginginkannya. Pada akhirnya dia menerimanya, bahkan sampai memiliki dua anak, Fani dan Tasia. Namun, justru saat itu dia malah menjadi curiga dengan Feisal. Jangan-jangan dia mempertahankan pernikahan mereka hanya demi anak-anaknya, bukan karena benar-benar mencintainya. Ini menjadi pendorong Karmila untuk meninggalkan keluarga kecilnya. Untung saja kesalahpahaman ini teratasi. Hal ini ditunjukkan lewat hubungan antara Feisal dan orang tuanya, dan Karmila dan anak-anaknya.

Di sela-sela semua ketegangan itu hadir obrolan-obrolan santai penuh guyon. Pelakunya kebanyakan adalah Karmila dan rekan-rekan kerjanya di rumah sakit. Topiknya meliputi pasien, mahasiwa praktik, sampai kehidupan pribadi masing-masing. Karena sama-sama tahu masa lalu percintaan Karmila, beberapa rekan kerja menawarkan jasa pembunuh bayaran untuk membunuh Feisal. Karmila dan anak-anaknya pun sering bercanda bersama. Yang agak mengejutkan adalah bercandaan Karmila dan Feisal. Kadang mereka berolok-olok tentang hubungan mereka, bahkan sampai tentang perselingkuhan atau perceraian. Selain itu, mereka bercanda tentang bacaan. Secara pribadi saya suka guyonan mereka tentang Intisari. Majalah itu habis-habisan diledek. Guyonan itu benar-benar menyegarkan karena bahkan tokoh yang paling serius pun tak kelewatan membikinnya.

Novel ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berisi masa Karmila belum menikah. Bagian kedua berisi masa setelah Karmila menikah. Secara umum, suasana bagian pertama adalah tegang, sedangkan di bagian kedua ada campuran antara tegang dan guyon. Wajar. Pada bagian pertama masalahnya benar-benar tampak di permukaan: Karmila hamil di luar kemauannya. Pada bagian kedua masalah itu lebih terselubung, sebagaimana Edo hanya menjadi bayang-bayang bagi pernikahan Karmila dan Feisal. Hanya saja pada bagian dua ada peristiwa yang terasa dipaksakan hanya demi mengintenskan persoalan hubungan Karmila dan Feisal: kehadiran Amalia, seorang perempuan yang mengaku saudara jauh Feisal padahal bukan, yang membuat Karmila cemburu berat. Sayang sekali, meskipun bagian kedua lebih kaya akan suasana, akhir bagian ini diacak-acak oleh peristiwa yang menimbulkan anti-klimaks, berbeda dari bagian pertama yang mencapai klimaks walaupun suasananya begitu-begitu saja.

Karmila berisi ketegangan orang-orang yang berusaha berlapang dada menghadapi nasib yang dihempaskan padanya dengan selingan obrolan-obrolan santai penuh guyon. Sayangnya, keseimbangan antara yang tegang dan yang santai itu digoncangkan oleh suatu peristiwa yang justru membuatnya menjadi anti-klimaks.