Kamis, 17 November 2016

Anak Perawan Di Sarang Penyamun - Sutan Takdir Alisyahbana


Judul Buku
:
Anak Perawan Di Sarang Penyamun
Penulis
:
Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit
:
Dian Rakyat
Tahun Terbit
:
1997 (terbit pertama kali tahun 1941)



Anak Perawan Di Sarang Penyamun berisi penyesuaian diri seorang perempuan, duka seorang ibu, tipu muslihat seorang lelaki, dan serangkaian kematian sekelompok lelaki setelah suatu penyamunan di hutan Sumatera Selatan.

Sekelompok lelaki itu adalah penyamun yang tinggal di suatu hutan yang berada di antara Lahat dan Pasemah. Mereka berlima, yakni Medasing (pemimpinnya), Amat, Sohan, Sanip, dan Tusin. Kecuali Medasing, latar belakang hidup penyamun itu tidak disebutkan. Bahkan, hanya Medasing yang batinnya digali. Sebelum bergabung dengan gerombolan penyamun itu, Medasing adalah seorang anak yang rumahnya disamun oleh penyamun. Dia dibawa oleh penyamun itu, lalu dididik oleh mereka. Pada akhirnya, dia menjadi seorang penyamun yang liar.

Lelaki yang bermuslihat itu adalah Samad. Dia adalah mata-mata gerombolan Medasing di kota. Dialah yang memberi tahu mereka kalau ada target yang bisa disamun. Dia memiliki istri dan dua anak yang tinggal di Pulau Pinang. Tapi, sebenarnya hubungan mereka dingin saja. Hubungan keluarga itu dianggap Samad hanya sebagai pelepas lelah menjadi mata-mata penyamun. Makanya, saat dia melihat perempuan cantik yang dibawa oleh gerombolan Medasing, Samad berniat untuk memiliki perempuan itu. Setelah itu, segala segala gerak-geriknya adalam aktivitas gerombolan Medasing penuh tipu muslihat.

Ibu yang berduka itu adalah nyi Haji Andun. Dia adalah istri Haji Sahak, seorang saudagar yang rombongannya disamun oleh gerombolan Medasing di tengah perjalanan mereka kembali ke Pagar Alam dari Palembang. Dia memiliki dua anak perempuan, satu kandung satu lagi anak angkat (Sima). Dia memiliki kakak yang banyak dibantunya secara ekonomi, Bedul. Sepeninggal suaminya, bukan hanya karena kehilangan, dia juga berduka karena terlilit hutang gara-gara dalam bawaan suaminya itu terdapat harta titipan. 

Perempuan yang menyesuaikan diri itu adalah Sayu. Dia adalah anak kandung Haji Sahak dan nyi Haji Andun. Dialah yang dibawa Medasing setelah gerombolannya menyamun Haji Sahak. Pada awalnya dia sedih dan mendendam pada gerombolan Medasing. Tapi, kemudian setelah agak lama tinggal bersama mereka, dan telah yakin bahwa mereka tidak akan mengapa-apakannya, dia pasrah dan bahkan membantu urusan rumah tanggal mereka. Meskipun begitu, pada awalnya dia sempat ingin melarikan diri. Makanya, dia sempat percaya pada Samad walaupun kemudian kepercayaan itu rubuh. Setelah tinggal hanya Medasing yang sintas di antara gerombolan itu, Sayu mengajaknya agar pergi ke Pagar Alam.

Buku ini menunjukkan citra yang menyimpang dari apa yang lazim diyakini orang tentang penyamun atau komplotan sejenisnya. Di sini penyamun –dengan Medasing sebagai perwakilannya—digambarkan lebih sebagai kalangan yang sekadar tinggal di hutan belantara dan hanya tahu menyamun sebagai satu-satunya cara bertahan hidup. Secara tidak konsisten, mereka digambarkan kurang mahir dalam mewaspadai tipu daya orang lain. Pada awal cerita mereka sempat mencurigai Samad kalau-kalau dia sengaja memberi informasi yang salah tentang Haji Sahak, padahal Samad pun tidak tahu. Tapi, saat sebenarnya Samad menipu daya, justru mereka –Medasing, lebih tepatnya— sama sekali tidak menyadarinya. Lebih kentara lagi, kepolosan mereka justru tampak dalam cara mereka bersikap terhadap perempuan, Sayu. Saat membawanya ke sarang, Medasing memang bersikap kasar. Tapi, saat Sayu sudah di sana, dia bahkan ragu-ragu mendekatinya. Naluri seksual tidak sedikit pun tersirat dalam tindakannya. Di sini penyamun lebih tampak seperti anak rimba yang bertindak kasar karena tidak tahu ada cara bertindak lain.

Buku ini seolah menyatakan bahwa pengetahuan (dalam arti yang luas) diperoleh manusia lewat belajar. Bahkan, hal semacam seks pun tumbuh karena dipelajari terlebih dahulu. Gerombolan Medasing sama sekali tidak tampak memiliki naluri seksual, sedangkan Samad melakukan tipu muslihat pada mereka dan Sayu dilandasi oleh naluri seksual. Perbedaan di antara mereka adalah gerombolan Medasing tinggal di hutan, tidak bersentuhan dengan peradaban, kecuali kalau mereka sedang menyamun, sedangkan Samad terbiasa tinggal di tengah peradaban. Di sini, berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, naluri seksual didapatkan Samad bisa jadi dari interaksinya dengan peradaban. Gerombolan Medasing yang tidak pernah mempelajarinya dari peradaban tidak memiliki naluri seksual. Hal yang lain adalah siasat dan, lebih jauh lagi, muslihat. Gerombolan Medasing memang bersiasat saat hendak menyamun agar pelaksanaannya lebih mudah. Mereka memiliki mata-mata untuk mencari informasi dan membagi tugas saat hendak menyamun. Tapi, di sini mereka digambarkan tidak tahu bahwa manusia bisa bersiasat dalam batinnya. Di sisi lain, Samad (sekali lagi) orang yang telah bersentuhan dengan peradaban digambarkan sangat penuh muslihat dalam batinnya. Bahkan, siasat dalam batin (dalam arti yang positif) digunakan Sayu untuk menyesuaikan diri dengan gerombolan Medasing. (Sekali lagi) di sini kemampuan bermuslihat didapatkan seseorang dari interaksinya dengan peradaban. Buku ini seolah menyatakan bahwa saat lahir, manusia adalah suatu wadah kosong. Apa pun yang kemudian berkaitan dengannya didapatkan lewat belajar.

Di sini hutan seolah dijadikan lambang bagi keperawanan dan peradaban seolah dijadikan lambang bagi sesuatu yang tidak lagi perawan. Kalau ditarik garis tegas, hutan diwakili oleh gerombolan Medasing, sedangkan peradaban diwakili oleh Samad. Di antara dua kutub itu berdiri Sayu dan nyi Haji Andun. Sayu condong pada kutub hutan, sedangkan nyi Haji Andun condong pada kutub peradaban. Sebelumnya gerombolan Medasing, Sayu, dan Samad sudah dibahas. Sekarang giliran nyi Haji Andun dibahas. Hal yang ditimbulkan oleh peradaban dalam pada nyi Haji Andun adalah kepemilikan dan gengsi. Yang dia khawatirkan saat dililit hutang adalah kehilangan segala benda yang telah dimilikinya. Selain itu, dia tidak mau menerima tawaran Bedul untuk tinggal bersamanya karena  selama itu dialah yang menolong-nolong Bedul. Dia pun merasa terganggu dengan pandangan orang-orang atas dirinya sepeninggal Haji Sahak. Makanya, dia memutuskan untuk tinggal jauh dari kampungnya setelah segala hartanya dijual untuk membayar hutangnya. Hal-hal yang ditimbulkan peradaban lebih menimbulkan kesulitan bagi seseorang daripada hal-hal yang berkaitan dengan hutan. 

Lewat penyandingan Medasing dan Samad, buku ini hendak mengajukan persoalan benar dan salah. Pada akhirnya Medasing, yang telah kembali ke peradaban dan mengganti namanya menjadi Karim, hidup bahagia dan menjadi orang terpandang –dia menjadi seorang pesirah, sedangkan Samad hidup susah. Ketika mereka bertemu kembali, Medasing tetap menolong Samad. Di sini hitam dan putih digambarkan secara tegas. Yang berbuat buruk, Samad, akan hidup susah, sedangkan yang berbuat baik, Medasing, akan hidup bahagia. Tapi, sayangnya, proses menuju kemenangan ini –anggaplah demikian— kurang dijelaskan. Setelah Medasing dan Sayu kembali ke peradaban, cerita langsung lompat ke kemenangan ini.

Anak Perawan Di Sarang Penyamun adalah suatu kisah yang berusaha untuk mengajukan persoalan-persoalan besar (murni dan ternoda, benar dan salah). Tapi, hasrat untuk memenangkan salah satu kubunya justru membuat kemenangannya kurang terjelaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar