Senin, 21 November 2016

Padang Ilalang Di Belakang Rumah - Nh Dini




Judul Buku
:
Padang Ilalang Di Belakang Rumah
Penulis
:
Nh Dini
Penerbit
:
Gramedia
Tahun Terbit
:
1993 (terbit pertama kali tahun 1979)



Padang Ilalang Di Belakang Rumah berisi perubahan cara hidup seorang perempuan bangsawan, perubahan cara hidup suatu keluarga yang kepalanya adalah orang pergerakan, perubahan penilaian seorang lelaki terhadap Jepang, dan diselingi kisah lucu bersahaja yang terjadi pada masa pendudukan Jepang sampai kedatangan Sekutu di Semarang.

Perempuan bangsawan itu adalah Kusaminah, ibu Dini, pencerita dalam buku ini. Dia berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Pada awal pendudukan Jepang dia menolak untuk mengubah gaya hidupnya. Dia tidak mau bekerja seperti rakyat jelata. Barulah saat melihat dengan mata kepala sendiri temannya yang dianggapnya sama derajatnya berjualan kain di pinggir jalan, dia sedikit demi sedikit mau membuat usaha batik demi menambah nafkah keluarganya.

Perubahan lainnya tampak dalam sikapnya terhadap percintaan Heratih, anak sulungnya, dengan Utono, seorang pemuda rekan kerja Heratih di kantor telepon. Suatu hari saat Utono melakukan pendekatan, Kusaminah marah-marah karena Utono mengajak Heratih menonton berdua saja di bioskop. Dia tidak tenang anaknya begitu. Gara-gara itu dia sempat bertengkar dengan suaminya yang lebih moderat dalam memandang pergaulan muda-mudi masa itu. Barulah setelah itu Kusaminah lebih maklum terhadap Heratih dan Utono. Misalnya, dia memperbolehkan mereka bepergian asalkan setidaknya ditemani oleh salah seorang adik Heratih.

Lelaki itu adalah Salyowijoyo, ayah Dini. Pada awal kedatangan Jepang, sebagaimana kebanyakan orang, dia merasa mendapatkan harapan akan hidup yang lebih baik daripada zaman Belanda. Dia perseptif melihat perkembangan keadaan. Setelah makin sering melihat prajurit Jepang bersikap seenaknya pada penduduk –misalnya, mereka menyuruh warga untuk menyerahkan harta bendanya—kepercayaannya terhadap Jepang memudar. Dia pun menyadari kaburnya prajurit-prajurit Jepang setelah beberapa pertempuran. Ditambah lagi, dia mendapatkan banyak informasi dari iparnya. Oleh karena itu, dia sigap berusaha menjaga keselamatan keluarganya, dan memastikan agar semua mendapatkan cukup makanan.
Kepala keluarga yang berkecimpung dalam pergerakan adalah Iman Sujahri, adik Salyowijoyo. Dia pindah ke Semarang dari Jawa Timur bersama Edi Sedyawati, anaknya, dan istrinya yang hamil tua. Iman Sujahri bekerja di kantor walikota sambil diam-diam melakukan kegiatan pergerakan. Oleh karena itu, dia sangat sibuk dan sebentar sekali ada di rumah. Saat Bibi Dini tinggal di rumah sakit selama masa menjelang dan pasca-melahirkan, Dini sering bermalam di rumah Iman Sujahri. Di situlah dia menyadari bahwa Edi adalah anak yang dididik orang tuanya ala Eropa sehingga asing dengan budaya Jawa macam wayang. Barulah saat sering bermain dengan Dini atau keluarganya, Edi mengenal budaya Jawa, dan bahkan menjadi gandrung dengan wayang dan sering meniru-nirukan wayang orang yang mereka tonton. Pada kesempatan ini pula Dini dan Edi merasakan dampak kesibukan Iman Sujahri dan kehamilan ibu Edi. Mereka kelaparan karena orang yang dipercaya untuk menjaga rumah terlalu banyak membuat aturan. Serba tidak boleh. Tapi, karena inilah ikatan batin antara Dini dan Edi menjadi kuat.

Terlepas dari keduanya saling menolong, terdapat perbedaan sikap politis antara Salyowijoyo dan Iman Sujahri. Salyowijoyo sadar politik tapi memilih tidak terlalu (atau setidaknya tidak secara eksplisit) terlibat dalam pergerakan politik, sedangkan Iman Sujahri sangat terlibat. Keterlibatan inilah juga yang membuat Iman Sujahri mesti berpindah-pindah. Sikap berbahasanya pun menunjukkan sikap politisnya. Iman Sujahri sehari-hari menggunakan bahasa Belanda dan jarang menggunakan bahasa Jawa atau Melayu, sedangkan Salyowijoyo lebih sering menggunakan bahasa Jawa walaupun dia bisa berbahasa Belanda. Salyowijoyo lebih anti-Belanda ketimbang Iman Sujahri. Makanya, saat Jepang datang dia pada awalnya merasakan timbulnya harapan, sedangkan sejak zaman Belanda Iman Sujahri selalu berpindah-pindah dan saat pendudukan Jepang dia diawasi.

Persoalan-persoalan serius itu diselingi oleh kisah-kisah lucu. Kebanyakan kisah lucu ini berkaitan dengan binatang. Misalnya, tentang asal mula ejekan Banteng pada Teguh, kakak Dini. Awalnya adalah Teguh mendapatkan kartu bergambar banteng terhimpit pohon saat diramal oleh peramal kartu gelatik. Tak lama setelah itu dia terhimpit lama di pohon saat disuruh mengambilkan belimbing. Kisah lainnya adalah saat Dini dan kakak-kakaknya bertengkar kekanak-kanakan. Mereka saling mencorat-coret tembok jamban dengan ejekan-ejekan. Bapaknya malah ikut-ikutan sampai ditegur ibunya. Kisah lainnya lagi adalah tentang jalak peliharaan mereka yang mempunyai perbendaharaan kata ejekan karena mereka sering berkata begitu di depannya.

Padang Ilalang Di Belakang Rumah berisi kisah orang-orang yang berusaha menyesuaikan diri untuk bisa sintas di tengah masa peperangan yang bergolak, yang kegawatannya diimbangi oleh kisah-kisah lucu yang bersahaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar