Judul Buku
|
:
|
Padang Ilalang Di Belakang Rumah
|
Penulis
|
:
|
Nh Dini
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia
|
Tahun Terbit
|
:
|
1993 (terbit pertama kali tahun 1979)
|
Padang Ilalang Di Belakang Rumah berisi perubahan cara hidup
seorang perempuan bangsawan, perubahan cara hidup suatu keluarga yang kepalanya
adalah orang pergerakan, perubahan penilaian seorang lelaki terhadap Jepang, dan
diselingi kisah lucu bersahaja yang terjadi pada masa pendudukan Jepang sampai
kedatangan Sekutu di Semarang.
Perempuan bangsawan itu adalah Kusaminah, ibu Dini,
pencerita dalam buku ini. Dia berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Pada awal
pendudukan Jepang dia menolak untuk mengubah gaya hidupnya. Dia tidak mau
bekerja seperti rakyat jelata. Barulah saat melihat dengan mata kepala sendiri
temannya yang dianggapnya sama derajatnya berjualan kain di pinggir jalan, dia
sedikit demi sedikit mau membuat usaha batik demi menambah nafkah keluarganya.
Perubahan lainnya tampak dalam sikapnya terhadap percintaan
Heratih, anak sulungnya, dengan Utono, seorang pemuda rekan kerja Heratih di
kantor telepon. Suatu hari saat Utono melakukan pendekatan, Kusaminah
marah-marah karena Utono mengajak Heratih menonton berdua saja di bioskop. Dia
tidak tenang anaknya begitu. Gara-gara itu dia sempat bertengkar dengan
suaminya yang lebih moderat dalam memandang pergaulan muda-mudi masa itu.
Barulah setelah itu Kusaminah lebih maklum terhadap Heratih dan Utono. Misalnya,
dia memperbolehkan mereka bepergian asalkan setidaknya ditemani oleh salah
seorang adik Heratih.
Lelaki itu adalah Salyowijoyo, ayah Dini. Pada awal
kedatangan Jepang, sebagaimana kebanyakan orang, dia merasa mendapatkan harapan
akan hidup yang lebih baik daripada zaman Belanda. Dia perseptif melihat
perkembangan keadaan. Setelah makin sering melihat prajurit Jepang bersikap
seenaknya pada penduduk –misalnya, mereka menyuruh warga untuk menyerahkan
harta bendanya—kepercayaannya terhadap Jepang memudar. Dia pun menyadari
kaburnya prajurit-prajurit Jepang setelah beberapa pertempuran. Ditambah lagi,
dia mendapatkan banyak informasi dari iparnya. Oleh karena itu, dia sigap
berusaha menjaga keselamatan keluarganya, dan memastikan agar semua mendapatkan
cukup makanan.
Kepala keluarga yang berkecimpung dalam pergerakan adalah
Iman Sujahri, adik Salyowijoyo. Dia pindah ke Semarang dari Jawa Timur bersama
Edi Sedyawati, anaknya, dan istrinya yang hamil tua. Iman Sujahri bekerja di
kantor walikota sambil diam-diam melakukan kegiatan pergerakan. Oleh karena
itu, dia sangat sibuk dan sebentar sekali ada di rumah. Saat Bibi Dini tinggal
di rumah sakit selama masa menjelang dan pasca-melahirkan, Dini sering bermalam
di rumah Iman Sujahri. Di situlah dia menyadari bahwa Edi adalah anak yang
dididik orang tuanya ala Eropa sehingga asing dengan budaya Jawa macam wayang.
Barulah saat sering bermain dengan Dini atau keluarganya, Edi mengenal budaya
Jawa, dan bahkan menjadi gandrung dengan wayang dan sering meniru-nirukan wayang
orang yang mereka tonton. Pada kesempatan ini pula Dini dan Edi merasakan
dampak kesibukan Iman Sujahri dan kehamilan ibu Edi. Mereka kelaparan karena
orang yang dipercaya untuk menjaga rumah terlalu banyak membuat aturan. Serba
tidak boleh. Tapi, karena inilah ikatan batin antara Dini dan Edi menjadi kuat.
Terlepas dari keduanya saling menolong, terdapat perbedaan
sikap politis antara Salyowijoyo dan Iman Sujahri. Salyowijoyo sadar politik
tapi memilih tidak terlalu (atau setidaknya tidak secara eksplisit) terlibat
dalam pergerakan politik, sedangkan Iman Sujahri sangat terlibat. Keterlibatan
inilah juga yang membuat Iman Sujahri mesti berpindah-pindah. Sikap
berbahasanya pun menunjukkan sikap politisnya. Iman Sujahri sehari-hari
menggunakan bahasa Belanda dan jarang menggunakan bahasa Jawa atau Melayu,
sedangkan Salyowijoyo lebih sering menggunakan bahasa Jawa walaupun dia bisa
berbahasa Belanda. Salyowijoyo lebih anti-Belanda ketimbang Iman Sujahri.
Makanya, saat Jepang datang dia pada awalnya merasakan timbulnya harapan,
sedangkan sejak zaman Belanda Iman Sujahri selalu berpindah-pindah dan saat
pendudukan Jepang dia diawasi.
Persoalan-persoalan serius itu diselingi oleh kisah-kisah
lucu. Kebanyakan kisah lucu ini berkaitan dengan binatang. Misalnya, tentang
asal mula ejekan Banteng pada Teguh, kakak Dini. Awalnya adalah Teguh
mendapatkan kartu bergambar banteng terhimpit pohon saat diramal oleh peramal
kartu gelatik. Tak lama setelah itu dia terhimpit lama di pohon saat disuruh
mengambilkan belimbing. Kisah lainnya adalah saat Dini dan kakak-kakaknya
bertengkar kekanak-kanakan. Mereka saling mencorat-coret tembok jamban dengan
ejekan-ejekan. Bapaknya malah ikut-ikutan sampai ditegur ibunya. Kisah lainnya
lagi adalah tentang jalak peliharaan mereka yang mempunyai perbendaharaan kata
ejekan karena mereka sering berkata begitu di depannya.
Padang Ilalang Di Belakang Rumah berisi kisah orang-orang
yang berusaha menyesuaikan diri untuk bisa sintas di tengah masa peperangan
yang bergolak, yang kegawatannya diimbangi oleh kisah-kisah lucu yang
bersahaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar