Judul Buku
|
:
|
Sekayu
|
Penulis
|
:
|
Nh Dini
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia
|
Tahun Terbit
|
:
|
1994 (terbit pertama kali tahun 1981)
|
Sekayu berisi serangkaian cinta masa remaja, gelora menulis,
melebarnya pergaulan, dan rasa kehilangan yang dialami gadis belasan tahun pada
tahun ‘50an di Semarang dan daerah sekitarnya.
Dini, gadis itu, pertama-tama mengalami cinta monyet pada
tahun-tahun terakhir sekolah dasar. Dia mendapatkan surat cinta dari seorang
teman sekelas. Tapi, sang penulis surat bersikap seakan surat itu tidak pernah
ditulis tiap kali dia bertemu dengan Dini. Pada titik ini kebingungan Dini akan
rasa cinta dimulai. Lalu, pada kesempatan lain Dini didekati oleh seorang guru
yang dikenalnya dalam kegiatan pemberantasan buta huruf. Dalam hubungan ini Dini
tidak nyaman karena merasa lelaki itu terlalu mendikte dan memiliki pandangan
yang kelewat tradisional tentang perempuan, misalnya perempuan hanya boleh
pakai rok sebagai bawahan. Lalu, Dini juga sempat menjadi pemuja rahasia teman
Maryam, kakaknya. Tiga pengalaman itu cukup berkesan bagi Dini. Tapi, ketiganya
kalah membuatnya mabuk kepayang daripada dua pengalaman cinta selanjutnya. Dua
lelaki selanjutnya adalah Marso dan Dirga, kakak-beradik. Yang disebut
belakangan adalah yang lebih tua. Marso adalah bintang sekolah sedangkan Dirga
tidak terlalu menonjol. Meskipun kemudian lebih dekat dengan Marso, Dini
sebenarnya pertama-tama jatuh cinta pada Dirga. Saking jatuh cintanya pada
Dirga, Dini sampai melakukan tindakan-tindakan kekanak-kanakan saat dia patah hati,
seperti menghindari kegiatan-kegiatan pelajar yang diikuti Dirga juga padahal
Dini bisa dibilang aktif juga dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Di sisi lain,
rasa sayang pada Marso justru tumbuh perlahan tapi pasti. Peristiwa yang
membuat hatinya terbuka pada Marso adalah darmawisata ke Parangtritis. Tapi,
pada akhirnya hubungan Dini dan Marso pun membeku pula. Sebagai bintang
sekolah, Marso memiliki banyak penggemar. Ada dua yang sangat dekat padanya.
Salah satunya marah pada Marso saat melihat kertas lirik yang tulis Dini atas
pesanan Marso. Di kertas itu ada gambar yang berbentuk huruf ‘D’ dan ‘M’.
Perempuan itu marah karena menyangka Dini sengaja menulis inisial itu sebagai
upaya penyelewengan sementara perempuan itu dan Marso sedang dekat-dekatnya. Lalu,
yang terakhir adalah Mas Nur. Dia adalah lawan main Dini pada pementasan Eka
Kapti. Cintanya tumbuh selama proses garapan. Pada akhirnya kandas juga. Tapi,
justru Dini merasa rasa cinta dan patah hatinya pada Mas Nur lebih mendidik
ketimbang pada Dirga. Pada masa puber itu Dini mengalami banyak kekecewaan
cinta.
Pada masa itu Dini memulai debut menulis profesionalnya. Sebuah
stasiun RRI di kotanya memiliki acara sastra. Isinya adalah pembacaan
tulisan-tulisan yang diterima redaksi. Pertama-tama, Dini hanya mengirim
tulisan-tulisannya saja. Lama-lama Dini juga terlibat sebagai pembaca
tulisan-tulisan yang diterima radio tersebut. Pada bagian yang membahas hal ini
Dini bicara juga soal motif ekonomi dalam kerja kreatifnya. Dia secara terus
terang mengatakan bahwa dia menulis demi uang. Memang, masa-masa awal dia
mengirimkan tulisan-tulisannya bertepatan dengan masa-masa paceklik ekonomi
keluarga karena baru ditinggalkan ayahnya. Ibunya benar-benar memutar otak
supaya mereka sekeluarga memiliki cukup biaya hidup, apalagi setelah Jawatan
Kereta Api menolak untuk memberi almarhum ayahnya pensiunan karena dianggap
tidak kooperatif selama masa revolusi kemerdekaan dan agresi militer. Tampaknya
ini juga salah satu hal yang mendorong Teguh, kakaknya, untuk mengirim tulisan
ke radio. Sebelumnya, tidak disebutkan bahwa Teguh memiliki ketertarikan
terhadap bidang tulis-menulis. Kemudian mereka sering tampil berdua di radio.
Oya, Dini juga sempat mengikuti lomba menulis yang diselenggarakan Palang Merah
Indonesia. Di sisi lain, aktivitas Dini di bidang tulis-menulis terdengar juga
sampai sekolahnya. Setidaknya dalam buku ini ada dua guru yang sangat
mengapresiasi kiprah Dini dan dianggap berpengaruh pada kiprahnya. Yang satu
adalah Pak Purnomo. Dia menyebarkan kabar tentang kiprah Dini ke seantero
sekolah. Yang satu lagi adalah Pak Ramuno. Dia dan Dini beberapa kali berdebat
tapi mereka akrab. Dia juga adalah salah satu orang yang dipersembahi buku
Sekayu oleh Nh Dini. Kehadiran pendukung yang spesifik mendukung bidang yang
digeluti seseorang membuatnya lebih bersemangat berkiprah.
Selain mengalami kehilangan yang asam-manis seperti yang
dialaminya dengan cinta-cinta monyetnya, Dini mengalami kehilangan-kehilangan
yang sepenuhnya pahit. Yang paling utama adalah kematian ayahnya. Tapi, rasa
kehilangan ini jadi menonjol justru karena tidak diceritakan. Yang diceritakan
hanya pengalaman terakhir kali pergi ke pasar malam bersama ayahnya. Di situ
pun yang diceritakan adalah kejadian-kejadian yang lucu. Misalnya, Teguh yang
terpencar sendiri sampai sekeluarga kerepotan mencari-carinya, tapi saat
akhirnya ditemukan dia malah sebenarnya sedang senang-senang sendiri. Juga,
kekonyolan-kekonyolan ayahnya selama di pasar malam. Tidak ada adegan yang
menggambarkan kematian ayahnya atau pemakaman. Hanya disebutkan bahwa adegan ke
pasar malam itu adalah pengalaman terakhir bersama ayahnya. Memang, kadang
tidak menceritakan sesuatu adalah salah satu cara bercerita yang dahsyat.
Kehilangan lainnya dialami Dini saat Maryam menikah. Berbeda dengan saat
Heratih, kakaknya sulung, menikah dengan Utono, saat Maryam menikah Dini justru
tidak ingin berada di tempat resepsi. Dia malah bersembunyi di tempat rahasia
di kebun dekat rumahnya saat resepsi dilaksanakan. Di sana dia membaca. Dia pun
merasa tidak sreg dengan lelaki pilihan Maryam karena menurutnya lelaki itu
tidak bisa mengambil hatinya sebagaimana Utono saat dulu hendak menikahi
Heratih. Maryam sendiri adalah kakaknya yang paling dekat dengannya. Dini
merasa pernikahan itu berarti kepergian Maryam dari keluarganya. Di antara
semua kehilangan yang dialaminya, justru Dini memilih kisah paling ceria untuk
menggambarkan sikapnya atas kehilangan yang paling tidak mungkin dielakkan.
Melebarnya pergaulan Dini pertama-tama disebabkan oleh
semakin dia dewasa. Dia sudah SMP. Dia aktif dalam kegiatan-kegiatan pelajar.
Dia menjadi salah seorang penampil dalam acara pembukaan Panca Lomba Sekolah
Menengah Seluruh Indonesia, bahkan bersalaman dengan Bung Karno, peristiwa yang
hanya dijadikan ledekan oleh ibunya. Karena kiprahnya di bidang menulis, dia
makin mengenal banyak orang. Dia menjadi akrab dengan orang-orang RRI Semarang.
Dia juga bersurat-suratan dengan seorang pelukis Yogya, Rusli. Kegiatannya di
Eka Kapti pun berkembang, bahkan dia sempat menjadi aktor dalam salah satu
pementasannya. Dia juga sempat terlibat dalam kegiatan pemberantasan buta huruf
di lingkungannya, bahkan dia menjadi punggawa dalam mengajak
perempuan-perempuan dewasa untuk menjadi peserta. Di sisi lain, pelebaran
pergaulan ini didorong juga oleh keadaan rumah Dini. Ayahnya sudah meninggal.
Maryam dan Nugroho kuliah di UGM. Di rumah keluarganya hanya ibunya dan Teguh,
walaupun ada beberapa anak indekos. Peristiwa di rumah lebih sedikit jumlahnya
daripada peristiwa di luar rumah. Sekayu menjadi penanda terbangnya Dini dari
rumahnya.
Sekayu adalah kisah tentang siapa-siapa yang datang dan pergi
dalam hidup Dini pada masa dia melebarkan sayapnya dari rumah sambil diliputi
gejolak kawula muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar