Minggu, 19 Februari 2017

Bianglala Sastra - Dick Hartoko



Judul Buku
:
Bianglala Sastra
Penyadur
:
Dick Hartoko
Penulis Versi Asli
:
Rob Nieuwenhuys
Penerbit
:
Djambatan
Tahun Terbit
:
1979 (Terbit pertama kali pada tahun 1972 dalam Bahasa
Belanda dengan judul Oost-Indische Spiegel)


Bianglala Sastra berisi profil dan fragmen tulisan faktual maupun fiktif 32 penulis yang berkiprah pada zaman Hindia Belanda. Fragmen dan profil itu menyiratkan kecenderungan penyorotan geografisnya, figur sentral, latar sosial penulis perempuan, beberapa lembaga, dan pandangan atas tanah Hindia Belanda.

Ada suatu kemiripan antara perempuan-perempuan yang profilnya dicantumkan dalam buku ini, yakni pertama-tama mereka adalah seorang ibu rumah tangga yang bersuamikan seorang pegawai pemerintah atau swasta. Latar sosial semacam inilah yang dianggap menjadi landasan kiprah mereka dalam penulisan. Untuk mengisi waktu luang mereka membaca. Setelah membaca, timbullah hasrat untuk menulis. Lalu, mereka menulis di surat kabar. Lebih jauh lagi, kebiasaan perempuan keturunan Eropa di Hindia Belanda ini kemudian dianggap sebagai keadaan yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran literer dan, lebih dalam lagi, emansipasi di kalangan perempuan pribumi, contohnya kasus Kartini. Hal ini dinyatakan secara tersurat dalam profil Christina Sloot alias Melati van Java.

Lelaki-lelaki yang diprofilkan dalam buku ini memiliki profesi yang beragam. Meskipun demikian, yang paling banyak adalah orang pers, wartawan maupun pemilik pers tersebut. Van Hoevell, P.A. Daum, Pieter Brooshooft, dan Zentgraff adalah beberapa di antaranya. Selain itu, ada juga orang pemerintahan, seperti van der Capellen dan C.S.W. Hogendorp yang sama-sama pernah menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda. Yang juga banyak diprofilkan adalah ilmuwan, ahli biologi seperti Rumphius, ahli bahasa seperti van der Tuuk dan Ph. P. Roorda van Eysinga, dan ahli farmakologi seperti Junghuhn yang mempelopori penggunaan kina di Hindia Belanda.

Dalam buku ini banyak penulis disebutkan memiliki hubungan dalam pelbagai bentuk: Hubungan darah, seperti hubungan antara Onno Zweir van Haren, Dirk van Hogendorp, dan C.S.W. van Hogendorp; Pertemanan, seperti hubungan antara Junghuhn dan Isaac Groneman; bahkan permusuhan seperti hubungan antara Eddy du Perron dan Zentgraaff. Di antara semua hubungan itu terdapat beberapa penulis yang menjadi figur sentral. Setidaknya ada tiga figur sentral yang berpengaruh dalam aspek yang bervariasi di antara penulis-penulis dalam buku ini. Pertama, van der Capellen, figur sentral bagi penulis-penulis yang aktif awal tahun 1800-an, seperti keluarga Hogendorp dan Ph. P. Roorda van Eysinga. Van der Capellen menjadi sosok yang menonjol di antara penulis-penulis yang terkena pengaruh arus Fajar Budi (istilah dalam buku ini yang merujuk pada Renaisans), khususnya dalam kaitannya dengan haluan liberal dan kebudayaan. Kedua, Multatuli, figur sentral bagi penulis-penulis yang berada di puncak pada tahun 1850-an, khususnya penulis-penulis liberal yang radikal, seperti S.E.W. Roorda van Eysinga dan Courier dit Dubekart. Multatuli menjadi sosok radikal yang menuntut otonomi Hindia Belanda dari Belanda walaupun dalam kasus Multatuli, dia sebenarnya menginginkan jabatan untuk dirinya sendiri. Terlepas dari itu, kesamaan penulis-penulis yang berfigur sentral Multatuli adalah kritis terhadap Eropa dan keturunan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda sehingga timbul kesan samar bahwa mereka berpihak pada pribumi walaupun tidak selalu begitu sebenarnya. Kecenderungan inilah yang kemudian memercikkan ide-ide politik etis. Ketiga, Eddy du Perron, figur sentral bagi penulis-penulis yang aktif pada tahun 1900-an, seperti Beb Vuyk dan Suwarsih Djojopuspito. Yang menonjol dari du Perron adalah individualitasnya. Hal ini jugalah yang tampak pada penulis-penulis yang menjadi satelitnya, seperti Vuyk dan Djojopuspito. Kalau tiga figur sentral itu dianggap sebagai suatu rangkaian kronologis, tampaklah hubungan antara liberalisme dan individualitas.

Persoalan identitas kebangsaan muncul pada pembahasan beberapa penulis. Yang kental unsur politisnya adalah Zentgraff. Dia mendukung gagasan Pax Neerlandica bahwa semua jajahan Belanda mesti bersatu di bawah naungan kerajaan Belanda. Latar sosialnya adalah masa menjelang Perang Dunia, saat Belanda mulai terdesak oleh Jerman. Dalam konteks lain, Notosoeroto, seorang Jawa yang banyak dipengaruhi pola didik politik etis, sejalan dengan pandangan Zentgraff. Dia merasa diri sebagai orang Belanda. Di sisi lain, van der Tuuk malah menjadikan dirinya sebagai pribumi Hindia Belanda, spesifiknya orang Bali, bahkan dia mengganti namanya menjadi Gusti Dertik. Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu justru menjunjung tinggi identitasnya sebagai orang Indo.

Ada perbedaan arti Hindia Belanda bagi tiap penulis dalam buku ini. Setidaknya ini ditunjukkan lewat tulisannya. Penulis yang dibahas di awal-awal buku cenderung memaknai Hindia Belanda sebagai suatu benda. Apa-apa yang terjadi di Hindia Belanda sekadar alat untuk kepentingannya, seperti van Haren yang menggunakan kisah Sultan Ageng Banten sebagai perumpamaan pertikaiannya dengan lawan politiknya, atau apa-apa yang ada di Hindia Belanda adalah suatu objek penelitian yang eksotis, sebagaimana tampak pada cara pandang Rumphius atas Maluku. Ada juga penulis yang memandang Hindia Belanda dengan kaca mata kolonialis. Penulis yang memiliki kecenderungan ini menganggap pribumi Hindia Belanda sebagai kalangan terbelakang. Misalnya, Brumund secara tersirat menganggap orang-orang yang meyakini kesaktian Pangeran Diponegoro sebagai orang bodoh yang gampang diperdaya oleh karisma sang pangeran. Lalu, ada juga penulis yang memaknai Hindia Belanda sebagai medan pertarungan kuasa antara keturunan Eropa yang sudah mukim lama di Hindia Belanda dan orang Belanda itu sendiri. Contohnya, jelas Multatuli. Penulis yang aktif pada tahun 1900-an justru memandang Hindia Belanda sebagai suatu tempat penuh kenangan. Mereka menuliskan Hindia Belanda dengan nostalgia. Eddy du Perron, Maria Dermout, Tjalie Robinson, dan Rob Nieuwenhuys adalah beberapa di antaranya.

Selain pemerintah kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia Belanda yang tidak sedikit dikecam oleh penulis-penulis yang diprofilkan dalam buku ini, setidaknya ada dua lembaga lagi yang muncul berulang dalam buku ini. Yang pertama adalah Batavisch Genoteschaap, suatu lembaga kajian ilmu yang didirikan pada masa-masa terpengaruhnya Hindia Belanda oleh semangat Fajar Budi. Rumphius dan van der Capellen adalah beberapa penulis yang dikaitkan dengan lembaga ini. Lembaga yang lainnya adalah pers. Bahkan, dalam buku ini dicantumkan tulisan Van Hoevell yang memperingatkan pemerintah Hindia Belanda supaya mendidik pribumi Nusantara tentang pers sebelum mereka mendapatkan gagasan yang bertentangan dengan pemerintah tentang pers. Beberapa surat kabar yang disebutkan dalam buku ini adalah Bataviasche Courant yang memuat salah satu tulisan van der Capellen, De Locomotief yang dipimpin Brooshooft, Java Bode yang dipimpin oleh Zentgraff.

Wilayah geografis yang paling banyak dibahas kebanyakan penulis dalam buku ini adalah Jawa. Dari keadaan alam liar Pantai Selatan yang dengan eksotis digambarkan Junghuhn dan Daum, pengamatan Brumund atas penghormatan rakyat jelata atas Pangeran Diponegoro, kisah van Goens tentang zaman Sunan Amangkurat I yang berbeda dari versi Babad Tanah Jawi, sampai asimilasi budaya Jawa dalam diri Hans Resink. Dengan kata lain, ketertarikan mereka mulai dari yang ragawi sampai yang rohaniah, dari rakyat jelata sampai bangsawan. Beberapa daerah lain dibahas juga walaupun satu dua. Ambon adalah yang dibahas lebih dari dua penulis. Rumphius sempat menulis sebuah buku yang membahas flora dan fauna di sana. Maria Dermout, yang menemukan arsip tulisan Rumphius, menulis tentang daerah itu dengan rasa nostalgia. Van der Capellen, yang pernah menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda, menulis suatu propaganda untuk mengambil hati pribumi Ambon pada masa perlawanan Pattimura. Selanjutnya, Bali. Maria van Zeggelen menuliskan suatu kisah tentang kehidupan bangsawan muda Bali. Van der Tuuk, seorang peneliti bahasa Batak, bahkan menjadikan dirinya seorang Bali. Sisanya, beberapa daerah yang hanya dibahas satu penulis. Misalnya, Maria Szekely-Lulofs, seorang istri mandor perkebunan, menulis kisah kuli Deli; Friedericy menulis kisah balas dendam seorang keturunan bangsawan Sulawesi Selatan terhadap pemerintah kolonial; Fabricus menulis cerita tentang seorang bangsawan Sumba yang berlindung pada Belanda. Intensitas kemunculan Jawa dalam buku ini memberi kesan bahwa Jawa sejak dulu adalah suatu pusat.

Bianglala Sastra memberikan gambaran tentang pengaruh latar sosial, ekonomi, dan politik terhadap cara pandang 32 penulis tersebut atas keadaan dan konsep Hindia Belanda itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar