Judul Buku
|
:
|
Hikayat Putri Penelope
|
Penulis
|
:
|
Idrus
|
Penerbit
|
:
|
Balai Pustaka
|
Tahun Terbit
|
:
|
2011 (terbit pertama kali tahun 1973)
|
Hikayat Putri Penelope berisi upaya pencarian jodoh bagi
putri mahkota kerajaan Australia, kehebohan tentang suku Aborigin dan imigran
di negeri itu, dan persaingan dua kubu dalam suatu pemilu.
Urusan jodoh Putri Penelope yang sudah berusia 21 tahun dan
beberapa tahun lagi mewarisi tahta Raja Adrian II adalah sesuatu yang menjadi
perhatian banyak kalangan. Masalahnya, dalam kedudukannya sebagai lambang suatu
bangsa, penampilan fisiknya, suatu hal yang dianggap sebagai lambang identitas,
berada di bawah standar orang kulit putih. Dia cantik tapi dia kontet.
Koran-koran bahkan secara tidak langsung pesimis soal keberhasilan usaha
pencarian jodohnya. Kedudukannya inilah yang justru menjadi penghambat
pencarian jodohnya. Kalau saja dia orang kulit putih biasa, tidak terlalu sulit
dia mendapatkan jodoh, sebagaimana yang dialami oleh gadis-gadis kulit putih
yang mendapatkan jodoh dalam pertemuan-pertemuan Organisasi Gelap Pembela
Mahasiswa Asia. Oleh karena itu, raja menitahi Sir Alexander dan Tuan Wheat
untuk mencarikan jodoh baginya.
Kehebohan muncul setelah penerbitan beberapa tulisan yang
berpandangan miring tentang imigran yang datang ke Australia. Katanya,
kehadiran kaum imigran yang oportunis itu justru mengurangi kesempatan warga
Australia untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Selain itu, karena
perbedaan budaya, mereka sulit untuk berasimilasi dengan budaya Australia,
suatu hal yang mengurangi rasa memiliki mereka atas Australia. Dalam pada itu,
ada beberapa negara yang disebut secara tersurat. Budaya poligami negara Islam,
seperti Turki dan Pakistan, dan budaya kebersihan mereka dianggap tidak sesuai
dengan budaya Australia. Seorang jago tua partai oposisi yang berhaluan
sosialis secara mengejutkan malah mendukung pandangan antimigran itu, walaupun
dia membuat kekecualian bagi orang Cina. Di sisi lain, muncul pelbagai aksi
massa yang dilakukan oleh orang Aborigin, bahkan di beberapa tempat sempat terjadi bentrok
fisik antara mereka dan polisi. Bersamaan dengan itu, terbit suatu penelitian
yang menyatakan bahwa selama ini sejarah tentang Australia yang diajarkan
seolah-olah menganggap bahwa sebelum orang-orang kulit putih datang tanah yang
mereka tempati sekarang adalah suatu yang kosong, tanpa kehadiran orang
Aborigin. Timbullah kesan bahwa orang kulit putih sok-sokan menganggap diri
sebagai pribumi Australia yang merasa diancam imigran padahal mereka sendiri
adalah imigran yang mendikreditkan orang Aborigin.
Ada dua partai yang perseteruannya berpuncak pada pemilu.
Yang pertama adalah partai penguasa yang salah satu tokohnya adalah Sir
Alexander, perdana menteri Australia. Sebagaimana penguasa menjadi lambang
mayoritas warganya, pandangan partai ini sejalan dengan mayoritas warganya. Rasa
superior kulit putih, misalnya, tampak dalam kecurigaan mereka tentang
pemanfaatan aksi orang Aborigin oleh kalangan oposisi, dan harapan seorang
perempuan agar anaknya dari pernikahannya dengan lelaki bernama Zaini kelak
memiliki kulit yang tidak segelap bapaknya dan ikut menjadi Kristen. Yang kedua
adalah partai oposisi yang berkecenderungan sosialis dan mendambakan suatu
sistem republik. Tuan Wheat, seorang mantan perdana menteri yang sosialis
moderat dan teman kuliah raja, adalah tokoh partai ini. Dalam pidato kampanye
pemilu, dia mengeritik penilaian pemerintah tentang ketidakmampuan Papua New
Guinea untuk mandiri secara pemerintahan, dan mendukung pemberian hak tanah
pada orang Aborigin.
Dalam mencarikan jodoh bagi Putri Penelope, Tuan Wheat dan
Sir Alexander dipengaruhi oleh pandangan dunia yang diejawantahkan oleh
partainya. Sir Alexander yang putus asa mencari calon menantu raja dari
keturunan sah bangsawan Eropa, tetap berkeras mencari darah biru kulit putih di
antara anak-anak haram mereka. Usaha ini disarukan dalam sebuah pencarian aktor
di Paris oleh dua orang kaki tangannya, suatu usaha yang ditertawakan oleh
faksi partai oposisi saat kebenarannya bocor. Tuan Wheat justru memperluas
jangkauannya dengan mempertimbangkan bangsawan dari bangsa selain Eropa. Salah
satunya adalah Raden Sukmoro, seorang bangsawan Jawa yang pernah ditaksir dan
satu kampus dengan Putri Penelope. Tuan Wheat bahkan mengatur suatu wawancara
palsu untuk mencari tahu pandangannya tentang Australia, setelah dia diberi
tahu kawannya yang seorang Indonesianis bahwa bangsawan Indonesia setelah
kemerdekaan tetap memiliki rasa kerakyatan yang tinggi, antikolonialisme, dan
antifeodalisme. Tapi, keduanya gagal. Dalam keadaan putus asa itu, mata mereka
terbuka pada pandangan lain yang berseberangan. Sir Alexander mendapatkan ilham
itu saat menyadari diskriminasi rasial yang terjadi dalam seleksi peserta Mis
Bikini, suatu acara yang diselenggarakannya. Tuan Wheat akhirnya merasa lebih
senang jika dipimpin oleh raja dari keturunan bangsa sendiri (baca: kulit
putih) daripada keturunan bangsa lain yang tidak diketahui sifatnya. Titik
balik itu adalah suatu ejekan terhadap dua pandangan dunia tadi.
Rasisme, khususnya superioritas kulit putih, adalah suatu
persoalan yang berulang muncul dalam buku ini. Pertama-tama, wujudnya adalah
penampilan fisik, sebagaimana yang dialami oleh Putri Penelope, dan tampak pada
cibiran beberapa orang kulit putih pada orang kulit kuning, sawo matang, dan
hitam. Kemudian hal itu merembet pada urusan-urusan lain yang mengikutinya.
Misalnya, kulit putih berasosiasi dengan Kristen, sehingga, sebagai konsekuensi
superioritas kulit putih, beberapa tokoh menganggap Kristen lebih baik dari
Islam. Lebih lanjut lagi, kulit putih berasosiasi dengan kolonialisme dan
feodalisme. Dalam kasus Australia, superioritas kulit putih itu menjadi
selubung mindernya. Sebagai bangsa yang punya pertalian darah dengan orang
Eropa, mereka ingin diakui sebagai orang Eropa, sebagaimana Sir Alexander yang
selalu merasa dirinya sebagai orang Inggris. Tapi, di sisi lain, mereka sadar
bahwa mereka bukan orang Eropa. Hal ini, misalnya, tampak dalam pengiyaannya
saat orang bilang bahwa apa-apa dari Jerman lebih baik daripada apa-apa dari
Australia.
Dengan sendirinya, usaha-usaha yang menentang rasisme itu
diasosiasikan dengan sosialisme atau (secara tersirat) komunisme. Meskipun
demikian, dua paham ini pun tidak luput dari ejekan, sebagaimana yang diejawantahkan
oleh Tuan Wheat dan temannya yang jago tua partai oposisi. Tuan Wheat yang
sosialis moderat berpandangan bahwa untuk mencapai tujuan dan ekonomi partainya
dia harus bekerja sama dengan kapitalis karena merekalah yang mempunyai modal
untuk mendanainya. Si jago tua partai oposisi justru menjadi rasis dengan cara
mendukung kebijakan-kebijakan antimigran tapi memberi kekecualian pada Cina.
Putri Penelope menjadi korban silang sengkarut segala persoalan itu. Penampilan fisiknya yang tidak sesuai dengan standar orang kulit putih yang kolonialis menjerumuskannya dalam rasisme. Kedudukannya sebagai putri mahkota menjeratnya dalam aturan-aturan feodalisme, bahkan untuk urusan pribadi sekalipun. Untungnya, dengan nada optimis yang tidak sungguh-sungguh, dia berhasil membebaskan diri dari segala kerangkeng itu. Dia memutuskan untuk menikah dengan seorang pemuda biasa dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada partai mana pun yang menang pemilu, dan dengan demikian atas rasa sayang orang tuanya membiarkan monarki itu berakhir.
Hikayat Putri Penelope adalah suatu sindiran tengil
terselubung atas feodalisme, kolonialisme, sosialisme, dan rasisme di balik
kisah ala dongeng putri malang mencari pangeran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar