Sabtu, 25 Februari 2017

September - Noorca M. Massardi


Judul Buku
:
September
Penulis
:
Noorca M. Massardi
Penerbit
:
Tiga Serangkai
Tahun Terbit
:
(Pertama kali terbit tahun 2006. Yang saya baca adalah versi PDF
yang tidak mencantumkan keterangan tahun terbit dan penerbit)




September berisi petualangan ajaib seseorang yang sedang dalam keadaan terpuruk ke kehidupan pribadi orang-orang media dan peristiwa kudeta  politik yang tidak mungkin tidak berasosiasi dengan peristiwa politik di Indonesia walaupun latarnya diburamkan.

Peristiwa politik yang berasosiasi dengan buku ini adalah Gestapu. Tapi, asosiasi itu sengaja diburamkan dengan beberapa cara. Nama kota diganti dengan nama julukannya. Jakarta disebut Ibukota, Bandung disebut Kota Bunga, Bogor disebut Kota Talas, dst.. Nama lembaga diplesetkan. Resimen Cakrabirawa diganti menjadi Resimen Kresnobirowo, ABRI diganti menjadi Angkatan Perang, PKI diganti menjadi Parki, dst.. Nama orang diplesetkan atau dianagramkan. Soekarno jadi Soekresno, Soeharto jadi Theo Rosa, Ahmad Yani jadi Mahya Nida, AH Nasution jadi Tasnio Hanu, DN Aidit jadi Ditia Nusadipa, dst.. Keterangan tentang Gestapu juga diplesetkan. Istilah itu mengacu pada Gerakan September Tiga Puluh. Tapi, dalam buku ini peristiwa itu terjadi antara tanggal 10 dan 11 September sehingga namanya adalah Gestapul, Gerakan September Sepuluh. 

Dalam kaitannya dengan pemlesetan itu, muncul tokoh dan lembaga yang berkaitan dengan demonstrasi ’66 dan ’98. Disebut Partai Republik Demokratis yang mengingatkan kita dengan Partai Rakyat Demokratis. Ada Moreni, seorang aktivis HAM, yang jika dianagramkan, menjadi Moenir. Selain itu, ada Mubandi Soemodjakti alias Budiman Soedjatmiko. Dalam adegan demo itu ada seorang mahasiswa Institut Pertanian Beragama (IPB) yang menulis puisi. Namanya Fatiqu Salimi. Siapa lagi kalau bukan Taufiq Ismail. Tentu demo ’66 dan ’98 mengandung unsur historisnya masing-masing. Secara permukaan pun sasaran demonya jelas bukan pihak yang sama. Tapi, pembaurannya ke dalam satu adegan demo menguak suatu dimensi peristiwa semacam itu. Dalam kaitannya dengan protes terhadap ketidakadilan, secara simbolis demo ’98 adalah semacam penerus demo ’66. Kalau melihat dampak adegan itu, demo ’98 seakan menuntaskan apa yang belum tuntas oleh demo ’66. 

Meskipun demikian, kalau dilihat dari sisi lain, tampak juga sisi borok demo semacam itu. Misalnya, tengok saja bagaimana buku ini berargumen bahwa Arief Rahman Hakim, yang dalam buku ini bernama Farie Harman Hikam, sekadar simbol yang sengaja dibuat belaka. Bahwa sebenarnya orang yang bernama Farie Harman Hikam itu tidak ada. Yang ada sebenarnya adalah mayat berdarah seorang gelandangan bernama Farie yang kebetulan diselubungi jaket almamater yang bertanda milik Hikam, dan dia bukan mati karena ditembak Angkatan Darat. Di balik demo-demo semacam itu terdapat rekayasa-rekayasa tertentu.

Anakronisme dalam buku ini bukan hanya pembauran dua demo tadi. Kehadiran telepon, komputer, dan internet adalah anakronisme lainnya. Tapi, kehadirannya bukan tanpa alasan, bahkan dalam kasus ini keberadaannya menjadi sangat berarti. Bersama dengan penggunaan tokoh yang berprofesi sebagai awak media sebagai tokoh utama, dan dengan demikian kerja-kerja media sebagai upaya untuk membantu Presiden Soekresno menangkal propaganda-propaganda Theo Rosa dan kroni-kroninya, media informasi menjadi kata kunci dalam pertarungan tersebut. Peristiwa fisik, seperti peperangan atau pembantaian, disebabkan, diakibatkan, disangkal, dibenarkan lewat media informasi. Barangsiapa yang memegang kendali atas sarana informasi dialah yang menguasai pengetahuan dan, pada gilirannya, kebenaran.

Sehubungan dengan Gestapu, lewat investigasi dan diskusi panjang lebar tokoh-tokohnya dalam beberapa kesempatan buku ini membuat beberapa argumentasi. Citra politis Indonesia di mata Amerika dan bloknya saat itu dinilai condong ke kubu komunis. Hal ini ditunjukkan dengan sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia, kedekatannya dengan PKI, bantuan senjata Cina pada Angkatan Udara, dan pembicaraan tentang Angkatan Kelima antara Cina dan Indonesia, beberapa hal yang dimunculkan dalam buku ini. Dalam pada itu, keadaan ABRI, khususnya Angkatan Darat, sedang bergejolak. Posisi-posisi panglima sedang menjadi kursi panas. Berlatarkan faktor pribadi dan profesional, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad hendak menyingkirkan lawannya. CIA menilai keadaan ini sebagai celah untuk sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Maka, lembaga itu menyokong rencana Soeharto dan bekerja sama dengan beberapa politisi yang pro-Amerika. Ahmad Yani yang dianggap sebagai kesayangan Soekarno menjadi salah satu orang yang disingkirkan. Angkatan Udara dan PKI yang punya kedekatan dengan Soekarno pertama-tama dicitrakan buruk. Mereka dicitrakan sebagai dalang kudeta G-30-S/PKI. Lokasi-lokasi yang berkaitan dengan kegiatan mereka dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Lalu, di tengah masa pembekuan media secara janggal koran PKI dibiarkan terbit dan bersikap mendukung gerakan itu, suatu hal yang dianggap sebagai rekayasa kubu Soeharto oleh buku ini. Dengan demikian, dibenarkanlah pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI, suatu hal yang diumpamakan sebagai sodomi mendadak terhadap orang sipil oleh militer –sebagaimana beberapa adegan lain dalam buku ini, adegan ini sangat impresif! 

Berlainan dengan sumber ilhamnya di dunia nyata, dalam buku ini kisah ini berakhir sangat bahagia banget. Theo Rosa yang mengundurkan diri dari jabatannya setelah demo besar-besaran dan diadili itu, bunuh diri secara langsung di hadapan kamera yang merekam pengumumannya. Soekresno tetap menjabat sebagai Presiden dan menyukur-nyukuri Theo Rosa. Ada kesamaan motif antara adegan-adegan yang kontras dengan sumber ilhamnya ini dan kehidupan Darius, tokoh yang memandu pembaca menyaksikan seluruh peristiwa dalam buku ini: hasrat untuk mengubah hidup. Awalnya, Darius terpuruk karena menjadi pengangguran setelah pabrik kecap tempatnya bekerja dinyatakan pailit. Keterpurukan itu secara ajaib membawanya masuk ke dalam dunia yang ajaib tadi lewat rasuk-merasuki tokoh lain, dari awak media, selebritis, ajudan, sampai presiden. Setelah menyaksikan akhir bahagia dalam dunia ajaib itu, mendadak dia kembali ke dunianya. Saat kembali itulah dia mendapatkan rejeki nomplok yang secara mengherankan berkaitan dengan dunia ajaib yang ditualanginya. Darius menjadi perumpamaan kebanyakan orang Indonesia yang menerima hidupnya begitu saja tanpa merenungkannya. Tanpa adanya perenungan tidak akan ada kesadaran sejarah. Selain mengubah nasibnya sendiri, campur tangan Darius pada kejadian-kejadian ajaib yang disaksikannya mengubah sejarah, mengubah nasib banyak orang. Dalam konteks Gestapu, kalau saja Soeharto diadili, sebagaimana yang dibayangkan buku ini, akan ada banyak orang yang nasibnya berubah sedrastis hidup Darius. Untuk mencapai perubahan nasib, diperlukan campur tangan yang tidak sedikit.

September adalah suatu pengandaian tentang nasib yang jauh lebih baik apabila hal-hal yang berkaitan dengan Gestapu diselesaikan, yang didasarkan pada serangkaian analisis. Bersamaan dengan itu, penggaliannya mengantarkan kita pada perenungan skeptis tentang media dan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar