Kamis, 09 Maret 2017

Telepon - Sori Siregar


Judul Buku
:
Telepon
Penulis
:
Sori Siregar
Penerbit
:
Balai Pustaka
Tahun Terbit
:
1992 (terbit pertama kali tahun 1982)




Telepon berisi serangkaian telepon iseng seorang pegawai toko buku Jakarta yang gelisah dan punya rasa keadilan yang terlalu tinggi, dan konsekuensinya.

Pegawai toko buku itu bernama Daud, seorang pelamun dua puluh tahunan yang merantau dari Medan. Walaupun sudah beberapa kali ditegur Lisa, pacarnya yang masih kelas dua SMA, dia tidak berhenti melakukan telepon iseng. Kebanyakan isi telepon iseng itu adalah kabar bohong. Beberapa kali isinya adalah suatu ancaman, tindakan yang dilakukannya kalau mendengar suatu ketidakadilan, seperti saat temannya, Burhan, dan beberapa orang lain dipecat sewenang-wenang oleh majikannya dan saat sebuah rumah sakit menolak melayani orang yang tidak mampu bayar. Hobinya itu bermula ketika dia sedang bokek-bokeknya dan dalam keadaan tidak menentu. Dia sembarang saja menelepon entah siapa. Tapi, curhat orang di seberang sana yang tanpa diduga menyenangkan hatinya.

Sebagai seorang perantau, dia banyak merenungi rantaunya, suatu hal yang banyak diungkapkannya pada Ramli, teman sekampung yang berniat merantau. Jakarta adalah tempat keras yang tidak punya rasa kasihan. Dalam persaingannya dengan banyak orang lain, seseorang tidak jarang mesti merangkap pekerjaan. Seringkali kemenangan seseorang yang sebenarnya berkecukupan berarti kekalahan telak bagi orang yang sudah melarat. Ditambah lagi, kemonotonan sehari-hari. Keadaan semacam inilah yang membuatnya sempat berpikir untuk pulang kampung saja, suatu hal yang ditentang Simangunsong, teman sekampungnya yang lain, karena pulang kampung sebelum sukses benar berarti memalukan diri sendiri.

Meskipun merasa senang dengan telepon-telepon iseng itu, di sisi lain, sesekali Daud merasa bersalah dengan tindakannya, khususnya yang berisi ancaman atau isapan jempol yang meresahkan. Kekhawatiran dan rasa senang itu silih berganti. Tapi, kemudian justru kekhawatiran itu mengalahkannya. Hantaman pertama adalah Lisa mengancam akan memutuskannya kalau dia tidak segera menghentikan hobinya itu. Hantaman kedua adalah pengakuan Ibu Suroso, seorang perempuan yang secara tersirat ditaksirnya, tentang telepon-telepon iseng soal anaknya yang makin lama makin meresahkan dan mengganggu ketentraman keluarganya sampai-sampai mereka harus memanggil polisi. Kejadian ini sempat membuatnya berniat untuk mengaku pada polisi dan membantu mereka mengusut kasus Ibu Suroso. Berdekatan dengan itu, dalam suatu telepon iseng, dia merasa harga dirinya sebagai penelepon iseng ulung dilecehkan oleh lawan bicaranya yang mengiyakan saja semua kebohongannya seakan lawan bicaranya itu sadar sedang berhadapan dengan seorang penelepon iseng. Rasa bersalah itu mencapai titik tertingginya saat dia berhalusinasi bahwa seorang majikan yang pernah dia ancam mengetahui tindakannya dan melaporkannya ke polisi. 

Telepon iseng adalah suatu mekanisme pertahan diri Daud atas segala tekanan yang dirasakannya selama merantau. Dia sebenarnya merasa tidak berharga dan tidak berdaya dalam rimba itu. Tapi, dia tidak bisa mengekspresikannya secara leluasa dalam keadaan sehari-hari. Semua perasaan itu hanya bisa ditumpahkannya saat dia menulis surat yang dikirimkan maupun tidak dikirimkan. Itu pun dalam wujud yang tersirat karena perasaan itu diproyeksikannya pada orang atau benda lain. Barulah dalam posisi sebagai pendengar curhat orang-orang yang diteleponnya secara iseng itulah dia merasa berdaya dan berharga. Dia merasa diperlukan dan pada gilirannya rasa penting itu membuatnya merasa punya kekuatan untuk membantu mereka dan kemudian orang-orang yang ada dalam posisi tidak berdaya dan tidak berharga. Makanya, kemudian dia bisa berani mengancam majikan yang secara semena-mena mem-PHK temannya dan rumah sakit yang tidak mau melayani orang yang tidak bisa bayar. Dia bahkan sempat berkhayal memiliki suatu lembaga konsultan bagi pelbagai masalah, suatu khayalan yang sangat dinikmatinya. Secara tidak sadar dia merasa dengan menolong mereka dia menolong dirinya sendiri, padahal tindakannya untuk membantu mereka justru lebih sering terlalu kelewatan.

Telepon adalah suatu kisah psikologis tentang dampak pola hidup kota besar yang meremukkan hati dan menyebatangkarakan, dan reaksi tidak lazim yang sengaja ditunjukkan untuk memberikan penekanan atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar