Senin, 03 April 2017

Lintasan Sastra Indonesia Modern 1 - Jakob Sumardjo


Judul Buku
:
Lintasan Sastra Indonesia Modern 1
Penulis
:
Jakob Sumardjo
Penerbit
:
Citra Aditya Bakti
Tahun Terbit
:
1992


Pendahuluan

Meskipun Sumardjo mengaku bahwa hal yang berusaha dicaritahunya dalam buku Lintasan Sastra Indonesia Modern 1 ini adalah dari kalangan sosial manakah sastra Indonesia lahir, persoalan-persoalan lain mau tidak mau turut terbahas juga. Selain kelas sosial, ulasan ini setidaknya akan membahas sembilan persoalan lain yang turut muncul dalam Lintasan Sastra Indonesia Modern 1, yakni tolok ukur periodisasi sejarah sastra Indonesia dalam buku ini, leluhur sastra Indonesia, protagonisme dan antagonisme politik dalam sejarah sastra Indonesia, hubungan antara sastrawan dan lembaga sastra, sastra terjemahan di Indonesia, peran majalah sebagai media sastra, figur-figur yang dianggap sangat berpengaruh dalam buku ini, perdebatan wacana dalam sejarah sastra Indonesia yang dibahas dalam buku ini, dan kecenderungan genre sastra yang dijadikan objek kajian buku ini.


Tolok Ukur Periodisasi

Sumardjo menggunakan tiga hal sebagai tolak ukur periodisasinya: kedekatan waktu kelahiran penulis, kemiripan gaya menulis, dan kesamaan media atau penerbit. Berdasarkan tolok ukur itu dia membagi sastra Indonesia sejak tahun 1920an sampai 1960an ke dalam lima periode: Sastra Balai Pustaka, Sastra Pujangga Baru, Sastra Angkatan 45, Sastra Generasi Kisah. Sebagai tampak pada penamaan periode itu, kecuali Sastra Angkatan 45, periode itu dinamai berdasarkan media atau penerbit yang mewadahi penulis. Tentang penggunaan istilah ‘Angkatan 45’ sebagai nama periode, Sumardjo lebih menitik beratkan periode itu pada peristiwa sosial besarnya walaupun dia menyebutkan beberapa istilah lain yang muncul untuk mengacu pada periode tersebut. Walaupun banyak penulis menolak digolongkan ke dalam Angkatan 45 karena mereka merasa tidak ikut bertempur, Sumardjo menyatakan bahwa berperang tidak mesti selalu menggunakan senjata. Untuk menekankan penggunaan tolok ukur itu, pada setiap periode terdapat pembahasan singkat tentang tahun kelahiran penulis-penulis. Beberapa contoh gaya yang mirip dalam periode-periode tersebut adalah: penulis Balai Pustaka banyak mempermasalahkan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua yang dilatari masalah adat, penulis Pujangga Baru banyak menulis puisi soneta dengan corak romantisisme, penulis Angkatan 45 menulis topik-topik yang berkaitan dengan revolusi Indonesia, dan penulis Generasi Kisah berfokus pada peristiwa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Tolok ukur itu sendiri bukannya tanpa masalah. Penggunaan kesamaan media atau penerbit sebagai tolok ukur berdampak pada penyingkiran kelompok penulis lain. Penulis roman medan disebut dalam pembahasan yang melingkupi rentang waktu 1920-1940. Tetapi, tidak ada pembahasan lebih lanjut tentang kalangan itu karena mereka tidak menerbitkan karyanya di Pujangga Baru atau lewat Balai Pustaka. Paling-paling HAMKA yang dibahas dari kalangan roman medan ini. Itu pun dimasukkan ke dalam daftar penulis Balai Pustaka. Yang lebih kentara tampak pada pembahasan Generasi Kisah. Dalam daftar penulisnya Sumardjo mengakui bahwa beberapa penulis yang dicantumkan tidak menerbitkan karyanya di majalah Kisah maupun Sastra, seperti Nasjah Djamin dan Motinggo Busye. Tapi, mereka tetap dimasukan ke dalam daftar itu. Tindakan ini bisa dinilai sebagai suatu kelonggaran karena pengelompokan yang kaku adalah suatu hal yang mustahil, sebagaimana pembatasan periodisasi berdasarkan waktu yang linear juga mustahil. Bisa juga tindakan ini dianggap sebagai inkonsistensi.

Justru pengelompokan yang lebih tidak diskriminatif malah tampak pada pembahasan tentang periode embrional. Di situ disebutkan dari beragam kelompok, seperti dari penulis Melayu Rendah Bukan Tionghoa, Melayu Rendah Tionghoa, dan berbahasa daerah.


Leluhur Sastra Indonesia

Sumardjo menyebutkan beberapa kelompok sastra sebagai leluhur Sastra Indonesia Modern. Mereka dibahas pada bab Sastra Awal. Kelompok-kelompok itu adalah penulis Melayu Rendah Tionghoa, Melayu Rendah Bukan Tionghoa, dan sastra berbahasa daerah (atau lebih dominannya adalah sastra Jawa dan Sunda). Pemilihannya atas sastra Melayu Rendah adalah wujud keberpihakannya dalam politik bahasa pada saat itu. Bahasa Melayu Tinggi dianggap sebagai bahasa penguasa kolonial, sebagaimana ditunjukkannya dalam pembahasan tentang Balai Pustaka. Selain itu, dia juga menolak Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi sebagai pelopor sastra Indonesia modern karena bahasa yang dipergunakannya adalah Bahasa Melayu Tinggi dan karena Abdulkadir Munsyi lebih condong pada sastra Malaysia. Menurutnya, yang dipakai sebagai bahasa perhubungan di Hindia Belanda adalah Bahasa Melayu Rendah. Sementara itu, dia menganggap sastra berbahasa daerah (khususnya sastra Jawa dan Sunda) sebagai leluhur sastra Indonesia karena Bahasa Melayu Rendah dipakai di lingkungan yang sudah heterogen, misalnya di kalangan pegawai, pelajar, atau pedagang, sementara di luar lingkungan itu yang dipakai adalah bahasa daerah. Ditambah lagi, dalam bahasa-bahasa itu juga muncul sastra modern. Dalam khazanah sastra Jawa, yang dianggap sebagai pemula sastra modern adalah Serat Riyanto yang terbit pada tahun 1920, sementara dalam khazanah sastra Sunda adalah Baruang Ka Nu Ngora yang terbit pada tahun 1914. Lie Kim Hok dianggap sebagai pemula sastra Melayu Rendah Tionghoa. Dalam khazanah sastra Melayu Rendah Bukan Tionghoa, Sumardjo tampak membaginya ke dalam dua kubu, yakni kubu FDJ Pangemanann yang bercorak ‘cerita dari berita koran’ dan kubu Tirtoadisuryo yang bercorak sosialis.

Sayangnya, agaknya sebagai konsekuensi dari sikap anti-kolonialnya, Sumardjo mengesampingkan peran satu kelompok sastra yang sebenarnya berkali-kali dibahasnya dalam buku ini: sastra Belanda atau sastra Hindia Belanda. Disebutkan beberapa kali bahwa Abdul Muis menulis Surapati dan Robert Anak Surapati karena pengaruh Melati van Java, salah seorang penulis berkebangsaan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda. Disebutkan juga bahwa Armijn Pane terpengaruh oleh Notosuroto yang walaupun seorang Jawa, menulis dalam Bahasa Belanda dan berpandangan Belanda. Dalam pembahasan tentang Pujangga Baru, Sumardjo mengaitkan kecenderungan penulis-penulisnya dengan Angkatan 80 dan pendidikan Belandanya, khususnya pengetahuan mereka tentang sastra Belanda. Dalam pembahasan tentang Chairil, dia membandingkan pemberontakan Chairil atas Pujangga Baru dengan pemberontakan kaum ekpresionis Belanda atas Angkatan 80, dan menyatakan karya Chairil mengandung kecenderungan-kecenderungan kelompok tersebut. Ditambah lagi, beberapa penulis yang dibahas pada bab Sastra Awal adalah penulis-penulis berkebangsaan Belanda, misalnya T. Roorda atau F. Wiggers. Pembahasan-pembahasan itu menunjukkan bahwa tidak kecil pengaruh sastra Belanda atau sastra Hindia Belanda pada sastra Indonesia.


Kelas Sosial Sastrawan

Sumardjo menyatakan bahwa semua paparan dalam buku ini adalah upaya untuk mencari tahu dari kalangan sosial manakah sastra Indonesia ditulis. Berkali-kali dalam buku ini muncul frasa ini: kalangan menengah terpelajar. Sumardjo mengatakan bahwa menurunnya jumlah penulis Melayu Tionghoa disebabkan oleh menurunnya minat pemuda kalangan itu untuk menjadi guru atau wartawan, pekerjaan yang paling banyak melahirkan penulis. Tirtoadisuryo cs. adalah orang-orang surat kabar. Penulis Pujangga Baru adalah orang-orang yang mendapatkan pendidikan modern, sebagaimana juga yang dialami Angkatan 45 walaupun dalam keadaan sosial politik yang berbeda. Yang disebut kurang mendapatkan pendidikan formal adalah Generasi Kisah sehingga karyanya pun terpengaruhi oleh latar belakang itu. Barulah Generasi Kisah yang menulis di majalah Sastra mendapatkan pendidikan formal yang lebih layak karena keadaan sosial politik lebih memungkinkan. Lebih spesifik, latar belakang ‘anak sekolahan’ ini tampak pada daftar penulis yang dicantumkan pada tiap akhir bab.


Protagonisme dan Antagonisme Politik dalam Sejarah Sastra Indonesia

Dalam suatu buku sejarah kesan antagonis dan protagonis adalah sesuatu yang sulit dihindarkan sekalipun penulisnya berusaha untuk berimbang. Buku ini pun mengalami hal serupa. Pada masa pra-kemerdekaan Indonesia jelas pihak antagonisnya: Belanda dan Jepang. Balai Pustaka pun dibahas dalam bingkai penerbit sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemerintah kolonial. Dipaparkan bagaimana kebijakan-kebijakan penerbitan Balai Pustaka dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas pribumi terhadap pemerintah. Makanya, kalangan pembaca yang disasar oleh Balai Pustaka adalah orang-orang di daerah lewat penerbitan buku-buku berbahasa daerah dan pembiaran terbitan-terbitan lain berbahasa daerah. Selain itu, dana yang digelontorkan pun berhasil membuat Balai Pustaka menyaingi penerbit-penerbit Melayu Tionghoa. Lewat kebijakan pemerintah yang bekerja sama dengan cikal Balai Pustaka, gerak Tirtoadisuryo cs. dihentikan. Dalam pembahasan zaman Jepang disorot penyesalan penulis-penulis yang pernah bekerja untuk Keimin Bunka Shidoso, sebagaimana tampak pada pembahasan tentang Usmar Ismail dan El Hakim. Lebih lanjut, untuk memberikan ‘pengampunan’ pada penulis-penulis itu terdapat juga bagian yang menyatakan bahwa penulis-penulis itu terpaksa bekerja untuk Jepang karena desakan ekonomi. Yang justru jadi menonjol adalah pengambangan kalangan Melayu Tionghoa. Pembahasan kalangan ini tidak dikaitkan dengan keadaan politik itu.

Pascakemerdekaan yang tampak menonjol adalah pertentangan antara Lekra dan Manikebu. Secara tersurat, Lekra dicitrakan sebagai antagonis. Di situ disebutkan bahwa mereka mendikte kebebasan kreativitas dengan cara mengharuskan penulis untuk menulis topik tertentu dan dengan cara tertentu. Mereka jugalah yang mendesak Sukarno untuk melarang Manikebu. Mereka juga yang menyerang tokoh-tokoh seperti HB Jassin sampai-sampai membuatnya dipecat dari kedudukan sebagai dosen UI. Mereka juga disebutkan menjerat penulis dengan cara ekonomis dan psikologis. Penulis yang kemudian bergabung atau punya kedekatan dengan Lekra dinilai kualitas tulisannya berkurang setelah itu. Yang menjadi protagonis adalah yang selain Lekra, di sini yang ditekankan adalah Manikebu dan penulis-penulis keagamaan. Manikebu disebutkan sebagai sekelompok penulis ‘bebas’ yang menjunjung tinggi kebebasan kreativitas. Setelah pengumuman manifesto itu, mereka mendapatkan dukungan dari banyak pihak yang merasa terdesak oleh Lekra. Kemunculan penulis keagamaan dikaitkan dengan kritik-kritik Lekra atas kalangan agamawan. Pada bagian daftar penulis Nugroho Notosusanto disebut sebagai seorang konseptor angkatannya, Generasi Kisah. Tapi, agaknya untuk memberikan paparan yang berimbang, Sumardjo secara tersurat menyebutkan keterlibatan tentara, yang diwakili oleh AH Nasution, dalam Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia, suatu kegiatan yang digawangi oleh Manikebu. Persaingan politik antara PKI dengan partai-partai lainnya dan tentara disiratkan lewat pertentangan Manikebu dan Lekra.

Lebih lanjut lagi, secara tersirat figur-figur dalam sastra Indonesia adalah orang-orang PSI atau yang punya kedekatan dengannya walaupun tentu saja mereka bukan satu-satunya orang di puncak elit sastra Indonesia. Hal ini setidaknya tampak sejak Pujangga Baru. Sutan Takdir Alisjahbana adalah orang PSI, bahkan kemudian menjadi perwakilan PSI dalam Konstituante. Chairil Anwar dekat dengan petinggi PSI, Sjahrir. Manikebu diisi oleh orang-orang PSI, seperti Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. Meskipun demikian, memang di puncak-puncak elit sastra itu mereka bersama dengan orang-orang berhaluan lain. Misalnya, di samping Chairil ada Asrul Sani yang NU dan Rivai Apin yang kemudian bergabung dengan Lekra. Tapi, toh, tokoh-tokoh PSI itu menjadi sosok yang menonjol di antara kumpulannya. Terlepas dari itu, penguakan-penguakan relasi politik sastrawan-sastrawan akan menujukan lagi kaitan antara politik dan sastra.


Sastrawan & Lembaga Sastra

Dalam buku ini terdapat satu bagian yang menunjukkan daftar anugerah sastra dan lembaga penganugerahnya. Anugerah itu didudukkan sebagai upaya untuk memajukan penulis, usaha lain untuk memajukan sastra. Di sini secara tidak langsung ditekankan betapa penting peran lembaga bagi perkembangan sastra walaupun secara tersirat. Lembaga sastra lainnya yang dibahas dalam buku ini berwujud majalah sastra atau media massa lain yang berisi konten sastra, seperti Pujangga Baru, Siasat, Kisah, dan Sastra. Masalah hubungan sastrawan dan lembaga sastra lebih tersurat dinyatakan dalam bagian-bagian lain. Lembaga sastra dalam wujud organisasi penulis tampak dalam pembahasan Lekra dan Manikebu. Khusus dalam bagian Lekra, disebutkan asas-asas yang berlaku bagi anggota-anggotanya, seperti ‘seni untuk rakyat’, ‘politik adalah panglima’, ‘turba’, dst.. Sementara itu, lembaga sastra dalam wujud badan penerbitan tampak dalam pembahasan Balai Pustaka. Dijelaskan panjang lebar bagaimana cara kerja keorganisasiannya, strategi penyebaran terbitan-terbitannya, dan –ini yang disasar Sumardjo—kepentingan-kepentingan politik di belakangnya. Dua kasus ini menjadi contoh bahwa selain membantu penulis memajukan dirinya dan mengembangkan kesusasteraan, dan saling berpengaruh pada konvensi proses kreatif dan konvensi sastranya, persentuhan antara sastra dan lembaga tidak bisa dimungkiri memiliki dimensi kepentingan yang lain. Dengan demikian, anugerah-anugerah itu tadi mengandung dimensi kepentingan politik lembaga penganugerahnya. Tidak dijelaskannya hal ini oleh Sumardjo menjadikannya suatu lahan terbuka untuk dikaji lebih lanjut.


Sastra Terjemahan di Indonesia

Hampir seluruh bab dalam buku ini memiliki bagian yang membahas sastra terjemahan. Dengan ini, Sumardjo secara tidak langsung menyatakan bahwa selain memiliki kaitan sejarah dengan pendahulunya di lingkungan sendiri, sastra Indonesia juga mendapatkan pengaruh dari lingkungan luar. Khazanah sastra mancanegara yang diterjemahkan sastra Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Russia), Amerika, dan Asia (Tiongkok, India, Arab). Penerjemahan itu kemudian menunjukan pengaruhnya lewat kemunculan saduran (contohnya, seperti yang tampak pada bab Sastra Awal dan Balai Pustaka), penulisan bentuk yang sama (contohnya, soneta Pujangga Baru, cerita silat, dan cerita detektif), karya-karya dengan aliran estetika sama (contohnya, Ekspresionisme Chairil dan Romantisisme Pujangga Baru), atau paham filsafatnya (contohnya, mistisisme Hindu Sanusi Pane). Lebih lanjut, penerjemahan itu menyiratkan juga dimensi politiknya. Pada periode Angkatan 45 tiga negara yang khazanah sastranya banyak diterjemahkan adalah Inggris, Amerika, dan Rusia. Kalau melihat perkembangan pada periode selanjutnya, hal itu menjadi padahan keterhimpitan Indonesia di antara Blok Barat dan Blok Timur.


Buku Sejarah Sastra yang Condong Pada Prosa

Memang buku ini berisi pembahasan tentang prosa, puisi, drama, dan esai dalam sastra Indonesia. Tapi terdapat ketidakberimbangan porsi pembahasan.

Esai disebut dalam semua bab. Tapi, disebut seperti prosesi absensi di perkuliahan. Sekadar ‘ada’ atau ‘tidak’. Pada pembahasan sastra Melayu Rendah Tionghoa disebutkan bahwa terdapat esai dan kritik sastra. Satu-satunya petunjuk kehadiran esai pada pembahasan Balai Pustaka tampak dalam penyebutan suatu tulisan yang mengeluhkan pembaca pribumi, berjudul “Menumbuhkan Perasaan Keindahan”. Esai lebih banyak dibahas pada bagian Pujangga Baru tapi sangat tersirat, bahkan kata ‘esei’ hanya muncul dalam profil Armijn Pane. Selebihnya, pada bagian itu esai muncul diam-diam dalam wujud jenis tulisan selain puisi, prosa, dan drama, seperti ‘kupasan dan timbangan kesusastraan’ atau yang lebih panjang, Polemik Kebudayaan. Dari bab Angkatan 45 sampai Generasi Kisah dalam bagian daftar penulisnya banyak sekali penulis yang disebutkan menulis esai dan beberapa bahkan disebut menulis esai dengan cemerlang. Disebutkan juga pada Angkatan 45 terdapat banyak terbit esai terjemahan sebagai wujud hasrat belajar para penulis untuk mempelajari teknik dan isi sastra. Tapi, sekali lagi, semua itu hanya penyebutan saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut bahkan tentang esai terjemahan itu atau bagaimana cemerlangnya esai-esai itu. Lebih lanjut, dalam buku ini pengertian esai adalah jenis tulisan selain prosa, puisi, dan drama yang berisi kritik sastra atau pemikiran tentang sastra, sebagaimana penyebutan, misalnya, Boen S. Oemarjati sebagai penulis esai. Kalau itulah yang dianggap esai, bisa disebutkan setidaknya ada satu bagian cukup panjang yang membahas esai, yakni pembahasan tentang kajian-kajian akademik yang membahas sastra. Pembahasan itu ditulis dalam kaitannya dengan HB Jassin. Yang disebutkan adalah akademisi-akademisi sastra UI dan beberapa di luar itu, seperti Teeuw, Hooykas, dan Ajip Rosidi.

Drama dibahas cukup panjang dalam pembahasan sastra Melayu Rendah Tionghoa. Sumardjo menyatakan pesatnya perkembangan drama Melayu Rendah Tionghoa disebabkan oleh ketercerabutan akar budaya orang keturunan Tionghoa di Indonesia, sedangkan orang pribumi yang kuat akar budayanya masih menggunakan drama tradisional. Dalam pembahasan sastra zaman Jepang, kebanyakan drama dianggap merupakan propaganda Jepang sambil disebutkan satu dua judulnya. Lebih sedikit lagi pembahasan drama dalam Pujangga Baru dan Balai Pustaka sekalipun misalnya disebutkan bahwa salah satu karya utama Pujangga Baru adalah drama Sandyakala Ning Majapahit dan Kertajaya. Tidak dibahas lebih lanjut seluk beluk drama Indonesia dalam buku ini.

Yang nasibnya agak mending adalah puisi. Terdapat pembahasan tentang syair pada bab Sastra Awal. Jenis puisi ini dianggap banyak berpengaruh, sebagaimana tampak pada kegandrungan penulis Melayu Rendah Tionghoa pada bentuk ini dan daftar syair yang diterbitkan Balai Pustaka. Perkembangan puisi kemudian tampak dalam pembahasan Pujangga Baru. Soneta ditulis sebagai reaksi atas jenis puisi lama. Lalu, puisi-puisi dengan bentuk terikat itu ditentang oleh puisi Angkatan 45, khususnya Chairil Anwar. Pada Generasi Kisah puisi dibahas, tapi pada bagian daftar penulis yang menghasilkan puisi, seperti Rendra dan Subagio Sastrowardoyo, bukan pada bagian umum yang membahas keadaan sastra pada zamannya.
Yang paling banyak dibahas dalam buku ini tentu saja prosa. Kecondongan Sumardjo terhadap prosa secara kentara tampak dalam pembahasannya tentang sastra awal. Yang dianggap sebagai sastra awal adalah karya-karya berbentuk prosa. Kecondongan itu juga tampak dalam salah satu simpulannya tentang Generasi Kisah. Dia menyatakan bahwa salah satu ciri Generasi Kisah adalah ‘kesusastraan cerita pendek’ padahal pada bagian daftar penulis terdapat banyak penulis yang menghasilkan puisi dan setidaknya Rendra menulis drama.


Majalah adalah Media Sastra

Berdasarkan paparan Sumardjo, media sastra Indonesia yang utama adalah majalah. Paling menonjol hal ini dimulai sejak Pujangga Baru. Memang pada bab Balai Pustaka disebutkan juga majalah yang diterbitkan oleh penerbit itu, seperti Sri Pustaka, Panji Pustaka, Kejawen, dan Parahiangan. Tapi, dalam membahas sastra Balai Pustaka, Sumardjo berfokus pada karya-karya yang diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku. Penamaan generasi sejak Pujangga Baru didasarkan pada majalah tertentu. Nama lain angkatan 45 adalah angkatan Gelanggang, nama rubrik sastra yang diasuh Chairil Anwar dkk.. Generasi setelahnya dinamai generasi Kisah lalu generasi Sastra. Keduanya juga nama majalah. Sejak bab Pujangga Baru terdapat subbab ‘sastra majalah’ dalam pembahasan tentang ciri sastra suatu generasi. Muncullah kesan bahwa sastra Indonesia adalah sastra majalah.

Penelaahan lebih lanjut atas fenomena majalah sebagai media utama sastra terdapat pada pembahasan Generasi Kisah. Majalah menjadi media sastra karena pada tahun ‘50an penerbitan sastra dalam bentuk buku lesu. Saat keadaan penerbitan membaik, terdapat fenomena penerbitan buku karya yang sebelumnya pernah diterbitkan dalam majalah. Sumardjo mencatat bahwa antara tahun 1958 (ditandai oleh kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian) sampai tahun 1964 kecenderungan itu ramai.

Tapi, klaim majalah sebagai media utama sastra pun pada akhirnya hanya terbatas pada pembahasan Pujangga Baru, Gelanggang, Kisah, atau Sastra. Sumardjo mengakui bahwa pada masa aktif Pujangga Baru karya sastra juga diterbitkan di surat kabar. Pada pembahasan angkatan 45 Sumardjo menyebutkan juga beberapa penerbit yang menerbitkan buku, seperti Balai Pustaka, Pembangunan, Gabura, Djambatan, dst..
Pada akhirnya, kesan bahwa sastra Indonesia adalah sastra majalah muncul karena objek penelitian Sumardjo dalam buku ini adalah karya-karya dalam majalah-majalah yang sudah disebutkan tadi dan dia menjadikan majalah-majalah tadi sebagai representasi sastra pada masa tertentu.


Figur yang Berpengaruh

Pada akhir tiap bab terdapat bagian yang berisi daftar penulis yang digolongkan ke dalam periode tertentu. Pada bab Sastra Awal daftar tersebut hanya berisi latar belakang singkat dan daftar karya mereka. Sejak bab Balai Pustaka daftar itu kadang berisi pembahasan lumayan panjang tentang penulis tertentu. Tapi, di antara penulis-penulis itu setidaknya ada tiga sosok yang mendapatkan keistimewaan sehingga dibahas pada bagian tersendiri: Lie Kim Hok, Chairil Anwar, dan HB Jassin. Sosok-sosok itu dianggap mempunyai pengaruh besar. Lie Kim Hok bahkan dijadikan nama salah satu periode dalam pembahasan sastra Melayu Rendah Tionghoa. Tahun penerbitan karyanya dijadikan batu pertama sejarah sastra Melayu Rendah Tionghoa. Dia juga dianggap mempelopori pembentukan bahasa Melayu Rendah Tionghoa dengan penerbitan buku Malayu Betawi. Dia juga banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara. Sementara itu, HB Jassin disebutkan menjadi redaktur pelbagai majalah sastra dan konsultan penerbitan sastra. Dialah kritikus yang paling tekun menulis kritik. Di tengah kurangnya pendidikan sastra yang didapatkan penulis Generasi Kisah kritiknya memberikan banyak pelajaran bagi mereka. Kita bisa melihat pengaruh keduanya bagi setidaknya penulis-penulis sezamannya. Di sisi lain, pembahasan tentang Chairil berisi hal-hal yang hanya menyangkut dirinya, seperti riwayat singkat, pengaruh budaya Barat, acuan budaya, dan tema-tema dalam karyanya. Bagian yang menunjukkan pengaruhnya bagi penulis lain paling-paling tampak pada bagian pembaharuan dalam puisi. Itu pun dikaitkannya dengan pemberontakannya terhadap konvensi puisi Pujangga Baru. Memang Sumardjo menyatakan bahwa salah satu ciri sastra Angkatan 45 adalah ekspresionisme dan kecenderungan Chairil adalah ekspresionisme. Tapi, apakah ekspresionisme Angkatan 45 itu dipelopori oleh Chairil, atau Chairil sekadar memiliki kecenderungan sama dengan penulis Angkatan 45 lainnya, tidak dibahas lebih lanjut. Pengaruhnya pada penulis lain tidak dijelaskan lebih jauh dari pernyataan ‘sampai pada zaman sastra Horison, Chairil Anwar masih dianggap sebagai pembaharu sastra Indonesia’. Kalau pembahasan Chairil dibandingkan dengan pembahasan Lie Kim Hok dan HB Jassin, muncullah kesan bahwa penahbisan Chairil seakan tidak berdasar. Seakan-akan Chairil ditahbiskan sebagai sosok besar dalam sastra Indonesia lebih karena diangkat HB Jassin dan kesukaannya menongkrong dengan banyak kalangan.


Perdebatan Wacana

Setidak-tidaknya ada tiga perdebatan wacana berkaitan dengan sastra yang dibahas secara eksplisit dan rinci dalam buku ini. Polemik Kebudayaan pada bab Pujangga Baru memang pada akhirnya merupakan perdebatan tentang kebudayaan umum, bukan sekadar tentang sastra. Tapi, perdebatan itu berdampak juga pada karya sastra yang dhasilkan pada masa itu. Misalnya, sikap proTimur memunculkan karya-karya bernapaskan semangat mistik, seperti beberapa karya Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Pembahasan dua perdebatan wacana lainnya terdapat pada bab Generasi Kisah. Yang pertama adalah soal krisis sastra. Perdebatan ini kemudian merembet juga pada persoalan kritik sastra, tolok ukur sastra yang baik, sampai politik. Yang kedua adalah masalah bacaan cabul. Perdebatan itu kemudian membahas soal keadaan ekonomi penulis dan moral dalam bersastra.

Dengan berlandaskan pada keterangan Sumardjo bahwa bahkan sejak orang Melayu Tionghoa aktif menulis sastra terdapat esai yang berisi kritik sastra dan pada masa-masa selanjutnya terdapat penerbitan esai (Sumardjo memuji esai pada angkatan 45 dan generasi Kisah), bisa diasumsikan bahwa terdapat lebih dari sekadar tiga wacana yang diperdebatkan sampai pada periode terakhir yang disebutkan Sumardjo. Merujuk pada sumber lain, pada Pujangga Baru saja Sutan Sjahrir dan JE Tatengkeng sempat berdebat soal tolok ukur kritik sastra. Tapi, dalam buku ini hanya dibahas tiga perdebatan itu saja. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena toh dalam pembahasan esai saja Sumardjo seringkali hanya sekadar ‘mengabsen’ saja. Di sisi lain, hal ini justru menjadi isyarat bahwa banyak yang bisa digali dari esai dalam sejarah sastra Indonesia.


Penutup

Sebagaimana tampak dalam ulasan ini, masih banyak hal yang bisa ditelusuri lebih lanjut untuk mempelajari sejarah sastra Indonesia. Selain itu, kalau menimbang tolok ukur yang dipakai Sumardjo dalam buku ini, masih perlu dirumuskan lagi tolok ukur yang lebih canggih dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Sebagaimana kebanyakan buku sejarah, buku ini memang bukan sesuatu yang final.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar