Jumat, 30 Juni 2017

Cis - Vincent Mahieu


Judul Buku
:
CIS
Penulis
:
Vincent Mahieu
Penerjemah
:
H.B. Jassin
Penerbit
:
Djambatan
Tahun Terbit
:
1976 (terbit pertama kali tahun 1954)




“Si tukang keluyur,” begitulah julukan Vincent Mahieu alias Tjalie Robinson alias Jan Boon yang disebutkan dalam Bianglala Sastra. Agaknya sikap suka ngeluyur itu terejawantahkan dalam kumpulan cerpennya, Cis. Tidak ada satu pokok yang mengikat empat belas cerita di dalamnya. Cerpen-cerpennya berkeluyur dari satu pokok ke pokok lain. Paling-paling kesamaannya adalah latarnya di Batavia. Meskipun demikian, setidaknya ada satu dua cerpen yang memiliki kesamaan pokok. 

Pokok yang banyak muncul adalah kisah yang dipandang oleh seorang anak atau remaja. Kebanyakan dipandang secara nostalgi karena narator yang sudah dewasa mengingat suatu hal dari masa kecilnya. Sosok yang berkesan baginyalah yang biasa jadi fokus cerita. Misalnya, anak lincah dan penuh vitalitas atau binatang-binatang yang sama sialnya dengan narator atau orang lainnya. Ada kekaguman menyerempet naksir pada anak yang penuh vitalitas, seperti tampak pada “Selamat Jalan Yosefine. Meskipun demikian, ada juga semacam kritikan halus bahwa anak-anak macam itu kurang pertimbangan dan perenungan sehingga tidak belajar dari kesalahan dan berakibat fatal, seperti tampak pada “Tidak Perlu Buku Untuk Hidup”. Binatang digambarkan sebagai sosok senasib sependeritaan. Dalam “Sahabat si Ulat”, naratornya melihat kesamaan nasib antara dirinya dan seekor anjing: sama-sama keras. Sementara orang-orang meremehkan mereka, ayam dan tikus jadi semacam karib pecundang dewasa di mata anak kecil narator “Ayam, Anjing, dan Tikus”. Ada simpati terhadap binatang dan anak-anak itu.

Kalau kisah tentang anak-anak dan binatang tadi lebih realistis, nostalgis, dan getir, kisah tentang orang-orang dewasa yang dipandang oleh orang ketiga di luar cerita terasa lebih karikatural dan penuh sikap mengejek walaupun persoalannya tak kalah gawat. Masalah hubungan suami-istri, persaingan antartetangga atau antarkolega, sampai peristiwa memalukan disajikan penuh dengan humor. Dalam “Peristiwa Douwes”, pembunuhan berdarah dingin seorang istri yang kelewat dominan oleh suaminya yang kurus kecil, sebagaimana beberapa cerita brutal dalam buku ini, digambarkan dengan lucu. Pembahasan tentang situasi rumah tangga mereka dimulai dengan pembahasan anekdot-anekdot tentang istri yang dominan. Kemarahan atas perselingkuhan istri digambarkan dengan kocak dalam “Berburu”. Ditambah lagi, tokoh suaminya memang cukup eksentrik. Guru yang pernah ngebut naik motor ke Bogor dari Batavia hanya mengenakan piyama dan selop itu siaga saja dengan senapannya menanti asisten residen yang berselingkuh dengan istrinya. Persaingan sosial antara keluarga referendaris dan keluarga komis 2 dibuncahkan oleh masalah sepele, pemotongan pohon yang ada di antara “Pagar” rumah mereka. Hubungan musuh-sahabat sepasang rekan kerja yang sifatnya bertolak belakang di “Quick en Co” berputar seperti roda, dan tak terduga.

Secara pribadi, yang paling berkesan bagi saya adalah “Vivere Pericolosamente”. Jadi, di sini saya bahas dalam paragraf tersendiri. Terjemahan judulnya garang: hidup menyerempet bahaya. Barangkali Anda pernah mendengarnya dari Soekarno. Tapi, di sini ungkapan garang itu dijadikan judul kisah konyol: seorang lelaki Indo baik-baik tiga puluh tahunan –dengan kata lain, seorang lelaki terhormat— yang suka berenang di kali Ciliwung yang kotor suatu ketika kehilangan kolornya gara-gara hanyut saat berenang. Memang kemudian dia mendapat pertolongan tetangganya. Tapi, tetangganya itu adalah janda genit yang menggodanya, dalam arti yang seksual maupun tidak seksual. Bayangkan, Anda bugil dalam keadaan sangat malu, lalu tahu-tahu orang yang dimintai tolong malah menggoda Anda!

Tentu saja dalam kumpulan cerpen yang tidak mengusung satu pokok utama terdapat cerita-cerita yang menyimpang sama sekali dari kecenderungan cerita-cerita lain. Kebetulan cerita-cerita itu secara berturut-turut ditempatkan di belakang. “Hrrr-hrrr-hrr” berisi kisah macho anak motor. Terdapat solilokui tentang kecintaannya terhadap motor, adegan kebut-kebutan, dan perkelahian di dalamnya. Kisah ini agaknya bisa mudah memantik simpati pembaca masa kini yang suka motor dan otomotif. Sementara itu, “Makan” adalah suatu kisah singkat tentang detik-detik terakhir seorang gelandangan yang kelaparan. Adegannya intens.

Kalau melihat cara Vincent Mahieu memperlakukan dua pokok tadi, beginilah kesan yang saya dapatkan: saat masih kecil, kita belum banyak mengalami hal-hal besar sehingga wajar apabila kita memandangnya secara serius dan emosional. Tapi, setelah kita dewasa, setelah kita mengalami banyak hal (yang mungkin saja kebanyakan tidak menyenangkan), kita menjadi kebal terhadap macam-macam kemalangan. Jadilah kita bisa menertawakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar