Selasa, 27 Juni 2017

Oeroeg - Hella S. Haasse


Judul Buku
:
Oeroeg
Penulis
:
Hella S. Haasse
Penerjemah
:
Indira Ismail
Penerbit
:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
:
2009  (terbit pertama kali tahun 1948)




Di antara sekian banyak perumpamaan tentang manusia terdapat satu yang menyatakan bahwa manusia itu seperti spons: menyerap apa-apa yang ada di lingkungannya. Berdasarkan itulah dia berkembang. Itulah yang mendadak teringat saat saya melihat dua tokoh utama dalam Oeroeg karya Hella S. Haasse: anak pribumi yang namanya dijadikan judul buku ini dan anak Belanda yang menjadi naratornya. Di situ kenangan si anak Belanda menyusuri masa kanak-kanak mereka pada zaman kolonial sampai pada masa Agresi Militer Belanda.

Oeroeg adalah yang perkembangannya kentara. Dia adalah anak mandor perkebunan teh yang administrateur-nya adalah bapak si anak Belanda. Pada awalnya dia dicitrakan sebagai anak kampung yang suka main ke hutan di sekitar Kebon Jati. Setelah dia disekolahkan bapak si narator di Hollandse-Inlandse School di Sukabumi, perlahan-lahan dia mulai lebih suka bergaul dengan anak-anak Indo daripada anak pribumi walaupun dia tidak menyukai orang Indo. Dia pun bersikap meniru mereka. Sikap kebelanda-belandaan ini makin menguat saat dia sekolah di MULO dan seiring dia dididik oleh Lida, seorang pemilik pondokan yang menjadi induk semang narator di Sukabumi. Barulah sikap mengkritik Belanda muncul setelah dia sekolah di NIAS, sekolah dokter, di Surabaya. Pada masa Agresi Militer Belanda Oeroeg tergabung dalam kelompok paramiliter yang berusaha menggusah Belanda.

Perubahan-perubahan sikap yang drastis itu bukan tanpa alasan. Hasrat untuk menjadi Belanda dalam diri Oeroeg perlahan-lahan ditumbuhkan oleh pengalamannya dididik secara Belanda. Pertama, dia disekolahkan di HIS sebagai “penebusan rasa bersalah” sang administrateur karena kematian sang mandor, bapak Oeroeg. Kedua, dia diperlakukan sangat istimewa oleh Lida yang merasa simpati padanya karena punya minat terhadap hal-hal eksotis dan rasa senasib sepenanggungan sebagai orang yang berusaha keluar dari lingkungan yang terbelakang. Ada sikap mengasihani dalam pemberian didikan Belanda pada pribumi. Jadi, pemberian didikan itu dikesankan bukan gara-gara pribumi dianggap setara.

Walaupun Oeroeg tampak menikmatinya, hasrat tersebut sempat mengasingkannya juga dari lingkungan awalnya. Lingkungan awalnya adalah lingkungan pribumi kalangan bawah. Setelah dia mengalami didikan Belanda, dia bahkan canggung bersikap saat mengunjungi rumah ibunya di Kebon Jati. Selain itu, sempat ada ejekan “Meinheer Oeroeg” dari kalangan babu-babu administrateur setelah Oeroeg diistimewakan.

Rasa tidak suka Oeroeg pada Belanda atau Indo yang makin eksplisit sejak pertengahan buku ditumbuhkan oleh pengalamannya menyaksikan perbedaan perlakuan terhadap orang Belanda dan pribumi. Saat si narator diajari Meinheer Bollinger, Oeroeg digusah dulu sehingga dia hanya bisa menyaksikannya dari jauh. Saat si narator berulang tahun, Oeroeg yang sudah diberi tahu si narator malah tidak diundang oleh orang tuanya. Saat nongkrong dengan anak-anak Belanda dan Indo, Oeroeg sering diperlakukan rendah, bahkan saat tinggal di asrama MULO, Oeroeg yang berusaha untuk mencari perhatian anak-anak Belanda diabaikan sama sekali. Perlakuan-perlakuan diskriminatif macam itu sekalipun sepele perlahan-lahan menumbuhkan sentimen.

Hasrat untuk menjadi Belanda berkelindan dengan rasa terasing Oeroeg terhadap lingkungannya. Di baliknya perlahan tumbuh rasa tidak suka terhadap Belanda yang kemudian memuncak pada masa Agresi Militer Belanda.

Si Narator adalah anak Belanda. Dia terbiasa bersentuhan dengan pribumi sehingga pengaruh pribumi kental dalam tingkah lakunya. Misalnya, dia lebih suka bermain ke hutan dengan anak kampung ketimbang memainkan mainan rumahan. Bahasa Belandanya pun bercampur dengan Bahasa Sunda. Dia tidak suka bergaul dengan anak-anak Belanda di lingkungannya, lebih suka bermain dengan Oeroeg. Hal-hal inilah yang membuat dia bisa lebih bersimpati pada tokoh-tokoh yang juga mencintai Hindia Belanda, khususnya Jawa, seperti Lida dan Gerard Stokman yang dianggap sebagai panutannya. Dia adalah contoh anak Belanda yang merasa Hindia Belanda adalah tanah airnya, bukan Belanda.

Tapi, rasa sayang itu dijegal oleh lingkungannya. Ayahnya adalah pengejawantahan jegalan lingkungan itu. Ayahnya tidak suka si narator terlalu terpengaruh pribumi sampai-sampai dia melakukan tindakan-tindakan yang menjauhkannya dari Oeroeg. Jegalan itu berakhir dengan sendirinya saat ayahnya stres karena perselingkuhan ibunya. Untuk sementara tidak ada penjegal. Tapi, semakin Oeroeg terlibat dalam lingkungan anak Belanda semakin si narator menyadari bahwa lingkungannya membeda-bedakan mereka. Seperti yang telah disebutkan, Oeroeg yang juga menyadarinya kemudian lebih condong pada rasa tidak suka terhadap Belanda. Sementara itu, si narator justru tidak bisa menghilangkan rasa cintanya pada lingkungan masa kecilnya, dan menumbuhkan rasa cintanya pada Belanda. Pada akhirnya dia tidak diterima oleh tanah kelahirannya, tapi juga dia tidak merasa Belanda adalah bagian dirinya.

Oeroeg berangkat dari lingkungan pribumi. Si narator berangkat dari lingkungan Belanda. Keduanya saling bersentuhan dengan lingkungan satu sama lain. Mereka sama tercerabut dari lingkungan awalnya. Bedanya, Oeroeg akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menyentuh kembali lingkungan awalnya, sedangkan si narator mendekam di daerah perbatasan yang agaknya sulit untuk diatasi. Keduanya tidak dapat menghindar dari pertentangan lingkungan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar