Judul Buku
|
:
|
Oeroeg
|
Penulis
|
:
|
Hella S. Haasse
|
Penerjemah
|
:
|
Indira Ismail
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia Pustaka Utama
|
Tahun Terbit
|
:
|
2009 (terbit pertama kali tahun 1948)
|
Di antara sekian banyak perumpamaan tentang manusia terdapat
satu yang menyatakan bahwa manusia itu seperti spons: menyerap apa-apa yang ada
di lingkungannya. Berdasarkan itulah dia berkembang. Itulah yang mendadak
teringat saat saya melihat dua tokoh utama dalam Oeroeg karya Hella S. Haasse:
anak pribumi yang namanya dijadikan judul buku ini dan anak Belanda yang
menjadi naratornya. Di situ kenangan si anak Belanda menyusuri masa kanak-kanak
mereka pada zaman kolonial sampai pada masa Agresi Militer Belanda.
Oeroeg adalah yang perkembangannya kentara. Dia adalah anak
mandor perkebunan teh yang administrateur-nya adalah bapak si anak Belanda. Pada
awalnya dia dicitrakan sebagai anak kampung yang suka main ke hutan di sekitar
Kebon Jati. Setelah dia disekolahkan bapak si narator di Hollandse-Inlandse
School di Sukabumi, perlahan-lahan dia mulai lebih suka bergaul dengan
anak-anak Indo daripada anak pribumi walaupun dia tidak menyukai orang Indo.
Dia pun bersikap meniru mereka. Sikap kebelanda-belandaan ini makin menguat
saat dia sekolah di MULO dan seiring dia dididik oleh Lida, seorang pemilik
pondokan yang menjadi induk semang narator di Sukabumi. Barulah sikap
mengkritik Belanda muncul setelah dia sekolah di NIAS, sekolah dokter, di
Surabaya. Pada masa Agresi Militer Belanda Oeroeg tergabung dalam kelompok
paramiliter yang berusaha menggusah Belanda.
Perubahan-perubahan sikap yang drastis itu bukan tanpa
alasan. Hasrat untuk menjadi Belanda dalam diri Oeroeg perlahan-lahan
ditumbuhkan oleh pengalamannya dididik secara Belanda. Pertama, dia
disekolahkan di HIS sebagai “penebusan rasa bersalah” sang administrateur
karena kematian sang mandor, bapak Oeroeg. Kedua, dia diperlakukan sangat
istimewa oleh Lida yang merasa simpati padanya karena punya minat terhadap hal-hal
eksotis dan rasa senasib sepenanggungan sebagai orang yang berusaha keluar dari
lingkungan yang terbelakang. Ada sikap mengasihani dalam pemberian didikan
Belanda pada pribumi. Jadi, pemberian didikan itu dikesankan bukan gara-gara
pribumi dianggap setara.
Walaupun Oeroeg tampak menikmatinya, hasrat tersebut sempat
mengasingkannya juga dari lingkungan awalnya. Lingkungan awalnya adalah
lingkungan pribumi kalangan bawah. Setelah dia mengalami didikan Belanda, dia
bahkan canggung bersikap saat mengunjungi rumah ibunya di Kebon Jati. Selain
itu, sempat ada ejekan “Meinheer Oeroeg” dari kalangan babu-babu administrateur
setelah Oeroeg diistimewakan.
Rasa tidak suka Oeroeg pada Belanda atau Indo yang makin eksplisit sejak pertengahan buku ditumbuhkan oleh pengalamannya menyaksikan perbedaan perlakuan terhadap orang Belanda dan pribumi. Saat si narator diajari Meinheer Bollinger, Oeroeg digusah dulu sehingga dia hanya bisa menyaksikannya dari jauh. Saat si narator berulang tahun, Oeroeg yang sudah diberi tahu si narator malah tidak diundang oleh orang tuanya. Saat nongkrong dengan anak-anak Belanda dan Indo, Oeroeg sering diperlakukan rendah, bahkan saat tinggal di asrama MULO, Oeroeg yang berusaha untuk mencari perhatian anak-anak Belanda diabaikan sama sekali. Perlakuan-perlakuan diskriminatif macam itu sekalipun sepele perlahan-lahan menumbuhkan sentimen.
Hasrat untuk menjadi Belanda berkelindan dengan rasa
terasing Oeroeg terhadap lingkungannya. Di baliknya perlahan tumbuh rasa tidak
suka terhadap Belanda yang kemudian memuncak pada masa Agresi Militer Belanda.
Si Narator adalah anak Belanda. Dia terbiasa bersentuhan
dengan pribumi sehingga pengaruh pribumi kental dalam tingkah lakunya.
Misalnya, dia lebih suka bermain ke hutan dengan anak kampung ketimbang
memainkan mainan rumahan. Bahasa Belandanya pun bercampur dengan Bahasa Sunda.
Dia tidak suka bergaul dengan anak-anak Belanda di lingkungannya, lebih suka
bermain dengan Oeroeg. Hal-hal inilah yang membuat dia bisa lebih bersimpati
pada tokoh-tokoh yang juga mencintai Hindia Belanda, khususnya Jawa, seperti
Lida dan Gerard Stokman yang dianggap sebagai panutannya. Dia adalah contoh
anak Belanda yang merasa Hindia Belanda adalah tanah airnya, bukan Belanda.
Tapi, rasa sayang itu dijegal oleh lingkungannya. Ayahnya
adalah pengejawantahan jegalan lingkungan itu. Ayahnya tidak suka si narator
terlalu terpengaruh pribumi sampai-sampai dia melakukan tindakan-tindakan yang
menjauhkannya dari Oeroeg. Jegalan itu berakhir dengan sendirinya saat ayahnya
stres karena perselingkuhan ibunya. Untuk sementara tidak ada penjegal. Tapi,
semakin Oeroeg terlibat dalam lingkungan anak Belanda semakin si narator
menyadari bahwa lingkungannya membeda-bedakan mereka. Seperti yang telah
disebutkan, Oeroeg yang juga menyadarinya kemudian lebih condong pada rasa
tidak suka terhadap Belanda. Sementara itu, si narator justru tidak bisa
menghilangkan rasa cintanya pada lingkungan masa kecilnya, dan menumbuhkan rasa
cintanya pada Belanda. Pada akhirnya dia tidak diterima oleh tanah kelahirannya,
tapi juga dia tidak merasa Belanda adalah bagian dirinya.
Oeroeg berangkat dari lingkungan pribumi. Si narator
berangkat dari lingkungan Belanda. Keduanya saling bersentuhan dengan
lingkungan satu sama lain. Mereka sama tercerabut dari lingkungan awalnya.
Bedanya, Oeroeg akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menyentuh kembali
lingkungan awalnya, sedangkan si narator mendekam di daerah perbatasan yang
agaknya sulit untuk diatasi. Keduanya tidak dapat menghindar dari pertentangan
lingkungan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar