Judul Buku
|
:
|
Laskar Pelangi
|
Penulis
|
:
|
Andrea Hirata
|
Penerbit
|
:
|
Bentang Pustaka
|
Tahun Terbit
|
:
|
2005
|
Pola tradisional dalam bercerita adalah kehadiran seorang
sosok pahlawan di tengah kemelut. Biasanya sosok itu memiliki sesuatu yang
menonjol, misalnya, memiliki kualitas yang tidak biasa, sehingga kelanjutan
kisahnya cukup menarik untuk disimak. Unsur sosok semacam itulah yang membuat
saya menuntaskan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Secara teknis sebenarnya ada beberapa kelemahan, terutama
yang berkaitan dengan narator. Mayoritas isi buku ini dinarasikan lewat sudut
pandang orang pertama bernama Ikal. Sah-sah saja apabila narator sudut pandang
orang pertama menafsirkan situasi batin tokoh-tokoh lainnya. Tapi, berdasarkan
cara penyampaiannya seakan dia bisa masuk pada pikiran tokoh lainnya, seperti
pada banyak adegan yang melibatkan Bu Mus, guru SD-nya, atau pada saat
memberikan paparan tentang Flo pada bab The Tower of Babel. Dalam hal jarak
antara cerita dan narator juga terdapat kelemahan. Setidaknya sampai bab 30
cerita tentang masa SD dinarasikan oleh Ikal dewasa. Barangkali karena bagian
itu merupakan semacam nostalgia, ceritanya melaju lebih cenderung asosiatif
daripada kronologis sehingga peristiwa-peristiwa itu campur aduk. Misalnya,
saat menilai rancangan gitar Lintang yang stang bisa dilipat dianggap sebagai
hal yang baru pertama kalinya dilihat Ikal, padahal dia sudah sering melihat
keanehan semacam “pemain biola yang ketiduran ketika sedang manggung, panggung
yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain gitar yang
kesetrum, seorang pria midland yang makan kelelawar, atau orang-orang kampung
yang meniru-niru Mick Jagger.” Beberapa hal yang disebutkan Ikal itu lebih
mungkin disaksikannya setelah masa sekolah dasar. Pada beberapa bagian cerita
jadi terasa anakronistis.
Tapi, kehadiran tokoh-tokoh yang menonjol mengatasi
kelemahan-kelemahan macam itu. Salah satu tokoh yang menonjol adalah Lintang.
Kalau ditilik-tilik lagi, memang akan muncul permasalahan berikut: secara
tersurat keluasan wawasan Lintang didapatkan dari membaca buku-buku milik
kepala SD Muhammadiyah. Tidak disebutkan lagi sumber lain. Kalau melihat
keluasan wawasan Lintang, yang secara cemerlang ditunjukkan pada adegan cerdas
cermat dengan sekolah PN, muncullah pikiran: betapa berlimpahnya buku-buku
bapak kepala untuk ukuran sekolah dasar yang dicitrakan miskin itu. Bapak
kepala setidaknya punya buku tentang The Hunchback of Notredame, Edgar Allan
Poe, Vincent van Gogh, penyakit Basedow, Rene Descartes, dst.. Pertanyaannya
adalah bagaimana bisa buku-buku seberlimpah itu di sekolah semiskin itu? Sebagaimana
beberapa hal lain dalam buku ini, saya cenderung menganggapnya sebagai
penerapan hiperbola untuk menekankan hal yang ingin dipermasalahkan penulisnya.
Lintang ditonjolkan untuk membahas permasalahan potensi yang terkubur karena
masalah ekonomi. Kepintarannya seringkali dikontraskan dengan kemiskinan
keluarganya yang dikepalai oleh seorang kuli kopra. Bahkan, untuk memberikan
penekanan lagi terhadap masalah itu, putus sekolahnya Lintang karena harus
menjadi pencari nafkah gara-gara bapaknya meninggal dijadikan adegan puncak
pada bagian pertama buku ini.
Kalau Lintang digambarkan sebagai jenius dalam hal ilmu
pengetahuan, tokoh menonjol lainnya, Mahar, digambarkan sebagai jenius seni. Kemampuan
seni rupa, musik, dan teater unggul. Dia adalah kontras Lintang. Kreativitas seninya
diposisikan sebagai kontras rasionalitas, bahkan (sekali lagi) secara
hiperbolis kreativitas itu diasosiasikan dengan hal-hal irasional semacam
perdukunan dan hal-hal gaib. Minat ini lantas dijadikan pijakan bagi lanturan
cerita yang cocok juga untuk jadi kisah petualangan yang bisa dijadikan cerita
tersendiri: kisah pencarian Tuk Bayan Tula dan kisah perkumpulan Societeit de
Limpai. Sekali lagi, pertanyaannya sama dengan kasus Lintang, dari mana Mahar
dapat modal sehingga memiliki kesempatan untuk mencapai kemampuan seni semacam
itu?
Tapi, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tentang kelogisan
latar belakang mereka, tidak bisa tidak diakui Lintang dan Mahar adalah tokoh
menonjol yang menjadi daya tarik buku ini.
Sebagaimana ditunjukkan oleh pemilihan Lintang sebagai tokoh
penting dalam adegan puncaknya, kaitan antara ekonomi dan pendidikan adalah
masalah yang diajukan buku ini. Ada kontras antara SD Muhammadiyah yang miskin
dan sekolah PN yang makmur. Bahkan, terdapat satu bab khusus yang secara panjang
lebar membahas kemakmuran sekolah PN dan lingkungan sosial yang melingkupinya.
Karena penulisnya berpihak pada SD Muhammadiyah, dia menampilkan adegan-adegan
yang menunjukkan keunggulan sekolah itu dari sekolah PN walaupun secara
finansial mereka kalah. Tengok saja adegan lomba cerdas cermat dan karnaval 17
Agustus.
Meskipun dipenuhi adegan-adegan bernada optimis, secara
mengejutkan bagian-bagian akhir buku ini dipenuhi nada pesimis. Kepesimisan itu
dimulai dari bab tentang putus sekolah Lintang, lalu melompat waktu ke bab-bab
yang membahas masa dewasa anggota Laskar Pelangi. Memang, ada keadaannya
digambarkan cukup optimis, tapi kebanyakan sebaliknya, khususnya dalam
kaitannya dengan keadaan ekonomi dan pendidikannya. Agaknya ini menjadi
penekanan bahwa masalah ekonomi dan pendidikan itu tidak terelakkan.
Lewat tokoh-tokoh yang punya kualitas tidak biasa, Laskar
Pelangi mengajukan permasalahan ekonomi yang berpengaruh pada pendidikan.
Kontras antara suasana pesimis pada bagian akhirnya dan suasana optimis pada
bagian-bagian awalnya adalah suatu penekanan betapa mendesaknya masalah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar